Yakubu “Jack” Gowon lahir di Nigeria utara sebagai anggota suku minoritas Ngas. Mayoritas keluarganya adalah orang Kristen, sehingga mereka merupakan minoritas ganda di daerah mayoritas muslim di Nigeria utara. Fakta ini sangat memengaruhi hidupnya di kemudian hari.
Pada usia 20, Gowon bergabung dengan tentara dan menghabiskan banyak waktu berlatih di Inggris, termasuk tugas di Royal Military Academy Sandhurst. Setelah itu, ia bergabung dengan detasemen penjaga perdamaian Nigeria yang dikirim ke Kongo dari 1960-1963. Sebagai tentara penjaga perdamaian, ia bertugas bersama kontingen Garuda dari TNI yang juga bertugas di Kongo.
Setelah selesai bertugas di Kongo, Gowon kembali ke Inggris untuk Sesko (Sekolah Staf dan Komando) dan kembali ke Nigeria pada awal tahun 1966 sebagai Letnan Kolonel. Dua hari setelah kembali, bersama beberapa perwira militer lainnya, ia terlibat dalam kudeta menggulingkan pemerintah sipil.
Meskipun Gowon tidak terlibat dalam perencanaan kudeta karena dia berada di luar negeri, dia ditunjuk sebagai Kepala Staf Angkatan Darat pemerintahan militer Nigeria pada usia 31 tahun.
Tidak lama setelah itu, Nigeria mulai terpecah oleh gerakan separatis. Untuk menyatukan mereka, pada bulan Juli 1966, Gowon diangkat menjadi Kepala Negara. Status minoritas ganda sebagai seorang Kristen Ngas dari wilayah mayoritas Islam membuatnya disepakati menjadi Kepala Negara di mata rekan-rekan militernya. Selain itu, Gowon juga dikenal sebagai seorang nasionalis.
Namun, Gowon tidak dapat menghentikan wilayah-wilayah Nigeria yang berbicara tentang pemisahan diri. Gerakan separatis yang paling vokal adalah Ibos Kristen dari Nigeria Timur, yang pada Mei 1967 mendeklarasikan negara bagian Biafra yang merdeka.
Perang saudara pun terjadi, dan selama tiga puluh bulan berikutnya, Gowon memimpin ekspansi besar-besaran Angkatan Darat Nigeria. Diperkirakan satu juta warga sipil tewas pada akhir tahun 1969 karena konflik ini. Pada bulan Januari 1970, Gowon menerima penyerahan tanpa syarat dari kelompok separatis Biafran.
Namun, bukan kemenangan militer atas Biafran inilah yang membuatnya seorang pemimpin yang hebat. Bagi saya, yang membuat Gowon hebat adalah kemampuannya untuk merangkul mantan musuh-musuhnya.
Dalam beberapa hari setelah Biafran menyerah, Gowon menyampaikan pidato “tidak ada pemenang, tidak ada yang kalah”. Gowon juga mengumumkan amnesti untuk sebagian besar separatis Biafran dan merumuskan program rekonsiliasi serta rekonstruksi untuk membangun kembali area yang rusak akibat perang.
Tahun-tahun berikutnya tidaklah mudah bagi Gowon. Pada Juli 1975, ia dikudeta ketika menghadiri konferensi di luar negeri. Dia kemudian pergi ke pengasingan di Inggris, di mana dia memperoleh gelar Ph.D dalam ilmu politik. Pada akhir 1980-an, ia menjadi profesor di sebuah perguruan tinggi.
Setelah sekian lama, Gowon mengorganisir sebuah LSM di Nigeria untuk mempromosikan tata pemerintahan yang baik dan memerangi penyakit menular. Usahanya pada tahun 2004 membuatnya mendapatkan penghargaan tertinggi oleh Dewan Penganugerahan Penghargaan Perdamaian Dunia.