Kemunduran tiba-tiba Airlangga Hartarto dari posisi Ketua Umum Partai Golkar telah menimbulkan berbagai spekulasi liar. Beberapa analis menduga ada campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam peristiwa politik tersebut. Jokowi disebut ingin mengendalikan Golkar atau menempatkan orang dekatnya sebagai Ketua Umum Golkar.
Setidaknya ada tiga kandidat potensial yang dapat menggantikan Airlangga sebagai ketum, yaitu Waketum Golkar Bambang Soesatyo, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Bahlil diyakini sebagai kandidat terkuat dan telah mendapat dukungan dari 34 DPD Golkar. Sebagai mantan Ketua HIPMI dan aktif di HMI, Bahlil dikenal sebagai salah satu orang dekat Jokowi. Rumor mengatakan Bahlil akan memberikan posisi Ketua Dewan Pembina Golkar kepada Jokowi jika terpilih sebagai ketum.
Selain Golkar, Jokowi juga disebut-sebut ingin menguasai PDI-Perjuangan, partai yang membesarkan namanya. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat memberikan sambutan di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta Pusat. Megawati mengatakan bahwa ia terpaksa membatalkan rencana pensiun karena ada yang ingin mengambil alih partainya. Namun, ia tidak merinci identitas orang yang berniat menguasai PDI-P.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto secara terang-terangan menyebut Jokowi sebagai orang yang dimaksud Megawati. Hasto mengklaim telah menerima informasi mengenai keinginan Jokowi untuk menguasai PDI-P dari salah satu mantan menteri Jokowi.
Wacana menjadikan Jokowi sebagai Ketua Umum PDI-P sempat dibicarakan oleh Guntur Sukarno, putra sulung Presiden RI pertama Sukarno dan kakak Megawati. Guntur Sukarno dalam sebuah tulisan mengatakan bahwa Jokowi berpotensi menjadi Ketua Umum PDI-P karena dianggap sebagai anak ideologis Bung Karno.
Meskipun sempat menusuk perbincangan, wacana tersebut kini meredup. PDI-P dan Jokowi bahkan berpisah setelah Jokowi mendukung Gibran Rakabuming Raka sebagai calon pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Namun, PDI-P belum mencopot Jokowi.
Seorang peneliti senior dari Pusat Riset Politik BRIN, Firman Noor, tidak yakin bahwa Jokowi dapat mengambil alih PDI-P. Menurut Firman, pernyataan Megawati lebih ditujukan untuk memperkokoh kader-kader PDI-P di barisan oposisi.
Situasinya berbeda di Golkar. Menurut Firman, Jokowi membutuhkan Golkar sebagai kendaraan politik setelah masa jabatannya berakhir. “Dengan kekosongan posisi setelah Airlangga mengundurkan diri, ada kesempatan untuk melakukan munaslub dan memasukkan orang seperti Bahlil,” ujar dia.
Peneliti politik dari BRIN, Wasisto Raharjo Jati, berpendapat bahwa isu pengambilalihan Golkar dan PDI-P muncul karena adanya pertarungan elit di kedua partai tersebut. Menurut Wasisto, isu semacam itu tidak akan muncul jika tidak ada faksionalisasi di internal partai.
Ini bukan pertama kalinya rezim Jokowi dituduh terlibat dalam konflik atau pergantian kepemimpinan di partai politik. Pada tahun 2021, misalnya, Jokowi pernah disebut-sebut mendukung upaya Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko untuk mengambil alih kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono di Partai Demokrat.