Revisi Undang-Undang Kementerian Negara telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pekan lalu. Melalui revisi tersebut, fraksi-fraksi di DPR sepakat memberikan kewenangan kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian sesuai kebutuhannya.
Dengan adanya kementerian-kementerian baru, Prabowo akan dapat dengan mudah membagi jatah menteri untuk partai-partai pendukung pemerintahan. Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran, akan menjadi lebih besar jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai NasDem resmi bergabung.
Susunan kabinet baru rencananya akan diumumkan setelah pelantikan Prabowo pada bulan Oktober mendatang. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bahwa Prabowo berencana untuk membentuk kabinet zaken, yaitu kabinet yang diisi oleh kalangan profesional. Namun, ia menegaskan bahwa menteri dari kalangan profesional tidak harus berasal dari luar partai politik.
Beberapa orang terdekat Prabowo sudah diprediksi akan diangkat menjadi menteri di beberapa kementerian strategis. Misalnya, Kementerian Keuangan diisukan akan dipegang oleh Thomas Djiwandono, keponakan Prabowo. Thomas saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan II.
Kementerian Luar Negeri diisukan akan diserahkan kepada Sugiono, Wakil Ketua Umum Gerindra. Di DPR, Sugiono juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi I. Sebelumnya, Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri diisi oleh pejabat profesional tanpa keterkaitan dengan partai politik tertentu.
Pakar hukum tata negara dari UPN Veteran, Wicipto Setiadi, pesimis bahwa kabinet zaken bisa terbentuk oleh Prabowo. Ia menyoroti banyaknya kementerian yang saat ini tidak dipegang oleh perwakilan partai politik. Wicipto menekankan pentingnya kementerian diisi oleh kalangan profesional untuk menjaga keahlian dan independensi.
Direktur Kajian Politik Nasional, Adib Miftahul, juga setuju bahwa kabinet zaken akan sulit direalisasikan oleh Prabowo. Pemilihan menteri berdasarkan daya keterkaitan dengan partai politik dapat menimbulkan konflik kepentingan. Ia menyoroti bahwa kabinet zaken seharusnya diisi oleh para ahli yang independen dari pengaruh partai politik.
Kabinet zaken sebelumnya pernah terbentuk pada periode 1957-1959 dengan nama Kabinet Djuanda. Mayoritas menteri dalam kabinet tersebut adalah para ahli yang independen dari partai politik. Adib menilai bahwa pernyataan Muzani yang menyebut kabinet zaken bisa diisi oleh kalangan ahli dari partai politik menandakan kemungkinan Prabowo akan memilih orang dari partai politik untuk kementerian-kementerian strategis, yang meningkatkan risiko konflik kepentingan.