Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mendapat kritik karena ajakannya untuk intensif mengembangkan batu bara dianggap tidak sejalan dengan rencana transisi energi baru dan terbarukan yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, menilai bahwa tindakan Bahlil seolah-olah mengikuti jejak Presiden Jokowi dalam mengeksploitasi energi fosil dengan klaim energi bersih. Dugaan pun muncul bahwa tekanan dari pengusaha batu bara mungkin menjadi alasan di balik sikap Bahlil.
Fahmy menekankan pentingnya memulai transisi energi secara perlahan untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2060. Pengembangan energi baru dan terbarukan harus menjadi prioritas mengingat ketersediaan bahan bakar berbasis fosil semakin menipis. Bahkan, Fahmy mengusulkan agar batu bara disulap menjadi energi bersih seperti energi gas dalam tabung, daripada dijual mentah begitu saja.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Pembina Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Mulyanto, yang menyoroti perlunya pengembangan teknologi energi baru dan terbarukan meskipun biayanya tinggi. Memiliki komitmen untuk mengurangi emisi hingga nol pada tahun 2060, pemerintah seharusnya tidak memberi jaminan kepada pengusaha untuk melanjutkan bisnis energi konvensional. Bahkan, Mulyanto menegaskan bahwa pernyataan Bahlil dinilai bertentangan dengan komitmen transisi energi yang sudah diikrarkan, menimbulkan keraguan terhadap keseriusannya.