Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI-P, Hasto Kristiyanto, menegaskan bahwa Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, sudah tidak lagi tergabung dalam partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Selain Jokowi, Hasto juga menyatakan bahwa Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan mantan Wali Kota Medan Bobby Nasution tidak lagi menjadi bagian dari kader PDI-P. Menurut Hasto, Jokowi dan keluarganya sudah tidak sejalan dengan cita-cita partai yang telah diperjuangkan sejak zaman Presiden pertama Indonesia, Sukarno, berada di Partai Nasional Indonesia (PNI).
Hasto menyampaikan bahwa PDI-P dikelola berdasarkan cita-cita tertentu, serta melakukan pengumuman terkait pemberhentian keanggotaan 27 kader, termasuk Jokowi, yang akan diumumkan pada 17 Desember mendatang. Salah satu alasan di balik keputusan ini berhubungan dengan pilkada, di mana sebagian kader PDI-P dapat dipercaya terlibat dalam kampanye pasangan lain sebagai lawan dari calon partai mereka sendiri.
Seorang pengamat politik, Emrus Sihombing, menyambut baik transparansi politik yang ditunjukkan oleh langkah PDI-P dalam menjelaskan status Jokowi dan keluarganya. Emrus merasa bahwa keputusan ini akan membantu memastikan kejelasan di mata publik dan membangun kesadaran politik. Meskipun demikian, Emrus tidak melihat bahwa keputusan PDI-P tersebut akan mengubah peta politik secara signifikan, mengingat struktur politik telah terbentuk setelah Pilpres 2024.
Emrus memprediksi bahwa Jokowi mungkin akan mendirikan partai politik baru atau bergabung dengan partai politik lain, seperti Partai Golkar atau Partai Gerindra. Dia juga menekankan pentingnya pengulangan pernyataan ini dalam komunikasi politik, meskipun menyatakan bahwa keputusan PDI-P hanya mempertegas perbedaan ideologi dan langkah politik antara Jokowi dan partai.
Pada sisi lain, Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional (KPN), Adib Miftahul, melihat langkah PDI-P sebagai kontraproduktif dan berpotensi membuat pendukung Jokowi berpindah ke partai lain yang lebih terbuka. Menurut Adib, penyerangan terbuka terhadap Jokowi hanya melukai luka politik yang belum sembuh, sementara PDI-P terlihat lebih fokus menyerang Jokowi daripada tokoh lain, seperti Prabowo Subianto. Adib berpendapat bahwa fokus pada politik emosional daripada membangun platform ideologi kerakyatan dapat merugikan PDI-P dalam jangka panjang.