Dalam seratus hari pemerintahan Prabowo-Gibran, kinerja mereka dinilai mendapat rapor merah oleh survei Center of Economic and Law Studies (Celios). Dalam survei tersebut, Prabowo-Gibran hanya mendapatkan angka 5 dari rentang 0-10. Beberapa menteri, termasuk Natalius Pigai, Budi Arie Setiadi, Bahlil Lahadalia, Raja Juli Antoni, dan Yandri Susanto, dianggap berkinerja terburuk. Panelis juga menilai kinerja Gibran sebagai Wapres dan hanya mendapat angka 3 dari 10. Sebagian besar responden merasa program kerja pemerintah rendah dan kualitas komunikasinya kurang memuaskan.
Berbeda dengan survei opini publik pada umumnya, survei Celios melibatkan praktisi dan pakar sebagai responden. Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira Adhinegara, kinerja tim ekonomi Prabowo-Gibran juga dinilai buruk. Situasi yang tidak memuaskan tersebut menyebabkan pemerintah mempertimbangkan perombakan total di tim ekonomi.
Dalam sigi mereka, Celios menyoroti beberapa hal terkait kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran, termasuk isu pengampunan koruptor, aparat kepolisian yang agresif, multifungsi TNI, stagnasi kualitas HAM dan kebebasan sipil, serta ketidakefektifan regulasi dan birokrasi. Respon dari pakar dan jurnalis menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh pemerintahan Prabowo.
Selain survei Celios, survei Litbang Kompas menunjukkan tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap kinerja Prabowo-Gibran, namun analis politik dan pakar kebijakan publik universitas setuju bahwa evaluasi kinerja pemerintah sebaiknya tidak hanya berdasarkan survei persepsi. Parameter-parameter seperti indikator ekonomi, sosial, dan politik juga harus diperhitungkan.
Walaupun ada desakan untuk melakukan reshuffle di kabinet Prabowo-Gibran, ahli berpendapat bahwa yang lebih penting adalah memastikan setiap kementerian bekerja secara optimal untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Evaluasi yang kuat, peningkatan kapasitas para menteri, dan kebijakan yang memberikan manfaat nyata bagi masyarakat adalah hal-hal yang harus diprioritaskan. Expert judgement dari pakar dianggap sebagai alternatif yang lebih objektif dalam mengukur kinerja pemerintahan, terutama ketika citra lembaga survei menjadi buruk akibat bias dan pesanan.