Revisi Undang-Undang (RUU) Kejaksaan menghadapi penolakan keras karena dianggap mengandung terlalu banyak penambahan kewenangan yang berpotensi merugikan demokrasi di Indonesia. Titik Triwulan Tutik, seorang Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara di UIN Sunan Ampel Surabaya, menyoroti bahwa RUU Kejaksaan memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada jaksa, yang bisa bertentangan dengan konstitusi atau undang-undang yang berlaku. Menurutnya, pengawasan terhadap kekuasaan yang diberikan kepada Kejaksaan juga perlu diperkuat, mengingat besarnya tambahan kewenangan yang diusulkan.
Selain itu, Bhatara Ibnu Reza, mantan anggota Komisi Kejaksaan periode 2019-2023, menyoroti proses penyusunan RUU Kejaksaan yang dilakukan secara tertutup pada tahun 2021, saat pandemi Covid-19 sedang melanda. Dia menilai bahwa proses ini memberikan celah bagi penambahan kewenangan dalam RUU Kejaksaan, seperti kewenangan intelijen Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan, yang seharusnya tidak dilakukan secara langsung terhadap objek. Semua hal ini dapat mengancam demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia, serta menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Selanjutnya, Erwin Natosmal, Direktur Riset Centra Initiative, menyoroti sejumlah permasalahan dalam RUU Kejaksaan yang perlu diperhatikan, seperti pergeseran kekuasaan Kejaksaan dari eksekutif ke kehakiman, hak imunitas jaksa, dan keluarganya. Diskresi penggunaan senjata api, masuknya militer dalam penegakan hukum, dan pemulihan aset tanpa kontrol yang tepat juga menjadi sorotan dalam RUU tersebut. Semua ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap RUU Kejaksaan untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan masyarakat dan kebebasan sipil.