Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang masih berusia dua tahun, sedang dalam proses revisi. Pada bulan November tahun lalu, revisi UU tersebut dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 meskipun proses pembahasannya tidak berjalan lancar. Beberapa anggota Komisi II DPR murka ketika disajikan draf revisi UU ASN oleh Badan Keahlian DPR dalam rapat tertutup di Jakarta pekan lalu. Mereka mempertanyakan mengapa UU ASN perlu direvisi tanpa ada pembicaraan awal dan naskah akademik revisi UU ASN belum tersedia saat itu.
Salah satu pasal yang banyak dipertanyakan adalah terkait wewenang pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat pimpinan tinggi pratama dari pusat dan daerah. Awalnya kewenangan ini dipegang oleh menteri atau kepala lembaga dan kepala daerah, namun dalam revisi ini wewenang tersebut dapat diambil alih oleh pemerintah pusat. Selain itu, terdapat rencana untuk melebur Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ke dalam Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) sebagai upaya penyederhanaan birokrasi.
Rencana revisi UU ASN ini kemudian mendapat protes keras dari sejumlah legislator di DPR, di antaranya Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin. Mereka menolak upaya sentralisasi ASN yang memberikan kewenangan dalam mengatur birokrasi di daerah kepada presiden. Wakil Ketua Komisi II DPR Aria Bima juga menyatakan kekhawatiran bahwa revisi ini dapat melemahkan semangat otonomi daerah jika pasal-pasal yang direvisi tidak tepat.
Sebuah opini dari konsultan politik Nurul Fatta juga mengungkapkan bahwa revisi UU ASN ini dapat menunjukkan kepentingan dari penguasa. Beliau mengusulkan agar birokrasi harus didesain sebagai kekuatan otonom yang mendistribusikan pelayanan berdasarkan kebutuhan warga, bukan loyalitas politik. Jika tidak, maka pemerintah dan elite politik seharusnya berhenti berpura-pura dan melibatkan ASN dalam politik secara transparan.