Koalisi Masyarakat Sipil mengevaluasi bahwa konflik kepentingan yang terjadi pada Ketua MK Anwar Usman, yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, serta Hakim Konstitusi yang mengabulkan Perkara No. 90, bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku Hakim, tetapi juga merupakan bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan dalam putusan tersebut yang dilakukan secara terang-terangan.
Menurut Ketua YLBHI, M Isnur, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 merupakan bentuk Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme yang terang-terangan terjadi. Isnur juga mengungkapkan bahwa perkoncoan dan nepotisme yang dilakukan penguasa dalam kepentingan keluarga, bukan kepentingan bangsa, bertentangan dengan semangat reformasi yang mengutamakan penolakan terhadap nepotisme sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999.
Isnur menyatakan bahwa praktik nepotisme antara penguasa dan MK ini merusak demokrasi dan hukum di Indonesia yang tidak boleh dibiarkan. Selain itu, dia juga mengkhawatirkan bahwa intervensi kekuasaan pada MK dapat mempengaruhi lembaga negara lainnya dan merusak proses pemilu secara politik.
Dalam konteks pemilihan umum, proses pemilu yang diwarnai putusan MK ini dapat merusak proses pemilu yang adil. Penguasa telah menggunakan kekuatan mereka untuk mengintervensi hukum dan mempertahankan dinasti politik mereka.
Isnur menambahkan bahwa kemunduran demokrasi di akhir pemerintahan Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Demokrasi merupakan capaian politik yang sulit diperjuangkan pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan.
Untuk menghadapi hal tersebut, diperlukan gerakan pro-demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran. Politik elektoral dapat menjadi momentum dan media untuk mengoreksi kebijakan dan langkah-langkah politik Presiden Joko Widodo yang merusak capaian politik Reformasi 1998.
Sumber: VIVA Nasional