DPR RI telah berhasil menyelesaikan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (UU Wantimpres). Dibahas hanya dalam beberapa jam di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (9/7), Badan Legislatif (Baleg) DPR setuju untuk membawa hasil revisi UU tersebut ke rapat paripurna untuk disahkan.
Setidaknya ada dua poin utama yang direvisi dalam UU Wantimpres. Pertama, nama Wantimpres diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Kedua, jumlah anggota lembaga tersebut tidak lagi dibatasi hanya 8 orang, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan presiden.
Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, mengklaim bahwa poin-poin revisi UU Wantimpres merupakan aspirasi dari semua fraksi di DPR. Ia membantah adanya arahan dari presiden terpilih Prabowo Subianto untuk merevisi UU tersebut.
“Poin-poin seperti perubahan nomenklatur dan penambahan jumlah anggota disetujui oleh semua fraksi, tetapi fungsi Wantimpres tidak berubah sama sekali,” kata Supratman kepada wartawan di DPR.
Pakar hukum tata negara, Refly Harun, berpendapat bahwa seharusnya nomenklatur Wantimpres tidak diubah. Menurutnya, DPA memiliki konotasi negatif. Di masa Orde Baru, DPA bahkan sering disebut sebagai Dewan Pensiunan Agung karena dianggap tidak berguna.
DPA pada era Orde Baru adalah salah satu lembaga negara yang dihapus setelah amandemen keempat UUD 1945. Sebelum dihapus, DPA diatur dalam satu bab tersendiri dalam konstitusi. Lembaga itu berada pada posisi yang setara dengan presiden.
Selain nomenklatur, Refly juga mengkritik penghapusan pembatasan jumlah anggota Wantimpres. Baginya, kesepakatan tersebut seakan-akan Presiden Joko Widodo memberikan kuasa penuh kepada Prabowo untuk merekrut orang-orang yang belum masuk ke dalam kabinetnya.
Menurut Refly, revisi UU Wantimpres adalah salah satu kebijakan yang menandakan kembalinya era Orde Baru. Ia juga menunjukkan rencana pembentukan kementerian baru dan usaha pemerintah pusat untuk mengambil alih wewenang yang semula dipegang oleh daerah.
Meskipun demikian, Jimly Asshidiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), mengatakan bahwa perubahan nomenklatur Wantimpres memang memungkinkan karena tidak diatur secara tegas dalam konstitusi. Namun, ia tidak setuju jika jumlah anggota Wantimpres atau DPA tidak dibatasi.
“Sebaiknya tetap terbatas, yaitu 8 orang, dengan tambahan tugas mengkoordinasikan semua lembaga atau badan yang berfungsi sebagai penasihat presiden,” tambahnya.