Home Politik Anies and the echo of the discourse of the Party of Change

Anies and the echo of the discourse of the Party of Change

Setelah gagal menjadi salah satu kandidat dalam Pilkada Serentak 2024, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan kemungkinan untuk membangun organisasi masyarakat (ormas) atau partai politik (parpol). Menurut Anies, saat ini tidak ada partai politik independen yang bebas dari intervensi kekuasaan.

“Maka, membangun ormas atau membangun partai baru mungkin itu jalan yang akan kami tempuh. Kita lihat sama-sama ke depan,” kata Anies dalam sebuah video yang diunggah di akun Instagram @aniesbaswedan, Jumat (30/8) lalu.

Berdasarkan elektabilitasnya, Anies bisa dikatakan sebagai kandidat terkuat di Pilgub DKI Jakarta. Namun, tidak ada satu pun partai politik yang bersedia untuk mengusungnya. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, Anies tidak mendapat tiket untuk maju.

Di menit-menit terakhir, PDI-Perjuangan, yang selama beberapa pekan diisukan akan mengusung Anies, malah mencalonkan pasangan kader mereka sendiri, yaitu Pramono Anung dan Rano Karno. Setelah mendaftarkan Pramono-Rano di KPU, PDI-P mengajak Anies untuk maju di Pilgub Jabar. Namun, pencalonan Anies di Jabar juga tidak berhasil.

Elite-elite PDI-P mengklaim adanya intervensi dari Istana yang menyebabkan pencalonan Anies dibatalkan. Ketua DPD PDI-P Jabar, Ono Surono, bahkan menyebut nama Mulyono sebagai dalang gagalnya pencalonan Anies. Mulyono adalah nama samaran Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Tanpa menjelaskan secara detail, Anies mengakui adanya intervensi ke partai politik yang membuatnya gagal “melangkah”. Oleh karena itu, ia lebih memilih untuk membentuk partai politik sendiri daripada bergabung dengan partai politik yang sudah ada saat ini.

Sehari setelah Anies “curhat” di Instagram, tagar Partai Perubahan menjadi populer di media sosial. Banyak warganet mengusulkan agar Anies mendirikan partai politik dengan nama tersebut. Perubahan adalah jargon yang sering digunakan oleh Anies saat berkampanye di Pilpres 2024.

Ada banyak warganet yang menyatakan siap bergabung dengan partai yang akan didirikan oleh Anies. Beberapa warganet bahkan menyebar kode QR dan nomor rekening dengan klaim bahwa mereka sedang menggalang dana untuk mendukung pembentukan partai politik tersebut.

Seorang analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, memandang rencana Anies untuk mendirikan partai politik sangat mungkin untuk terwujud. Dengan modal ketokohan, Zaki menilai bahwa Anies hanya perlu mengumpulkan modal finansial dan merumuskan ideologi yang tepat untuk partainya di masa depan.

“Kemampuan merumuskan visi dan misi yang kuat merupakan jaminan bagi kelangsungan partai politik dalam jangka panjang. Pengalaman politik yang dimiliki Anies cukup panjang. Anies memiliki nilai tambah sebagai simbol the man of integrity. Sehingga, modal awal yang cukup lengkap bagi pembentukan partai politik,” ujar Zaki kepada Alinea.id di Jakarta baru-baru ini.

Faktor finansial menjadi hal krusial yang harus dipertimbangkan oleh Anies. Diperlukan dana hingga kisaran Rp2 triliun untuk membangun sebuah partai politik dengan infrastruktur politik secara nasional. Meskipun demikian, Zaki berharap agar Anies dapat melepaskan diri dari cengkeraman oligarki untuk membiayai partainya.

“Jumlah yang tidak sedikit. Jika Anies mampu meyakinkan publik tentang visi dan platform partainya yang menarik, memiliki daya tarik politik, sangat mungkin penggalangan dana publik dapat berjalan tanpa perlu melibatkan kalangan konglomerat,” ujar Zaki.

Namun, menurut Zaki, Anies harus membangun ideologi yang tegas dan tidak pragmatis untuk partainya. Anies bisa mengusung corak nasionalis-religius yang ditujukan kepada kelas menengah kota. Menurutnya, Anies masih sulit untuk menjangkau konstituen di pedesaan.

“Karakteristik ideologis dari partai politik tersebut mungkin mirip campuran antara Partai Islam Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia atau PSI. Jika benar-benar terwujud dan dikelola dengan profesional, partai politik baru tersebut akan memiliki kekuatan signifikan dalam politik,” ujar Zaki.

Seorang peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, berpendapat bahwa langkah Anies untuk mendirikan partai politik tidak akan mudah. Hanya modal ketokohan saja, kata Firman, tidak cukup untuk mendukung pembentukan partai politik modern.

“Apakah ada pihak yang bersedia membiayai kegiatan politik Anies? Saya ragu. Belum ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa ketokohan itu cukup untuk membangun partai politik yang besar. Amin Rais tidak terlalu berhasil dengan Partai Ummat, sementara Anas Urbaningrum tidak berhasil dengan PKN,” ujar Firman kepada Alinea.id.

Saat ini, Anies dikenal dekat dengan beberapa pengusaha besar, seperti Jusuf Kalla dan Thomas Lembong. Namun, Firman meragukan apakah para pengusaha yang dekat dengan Anies bersedia membiayai partai politik yang ia dirikan sebesar yang dilakukan oleh Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, di Gerindra.

“Tokoh-tokoh seperti SBY, Megawati, dan Prabowo juga memerlukan modal yang sangat besar agar partai politik mereka bisa berkembang hingga saat ini. Apakah Anies mampu membiayai semua itu selama lima tahun ke depan?” ujar Firman.

Menurut Firman, langkah yang paling realistis yang dapat dilakukan oleh Anies adalah dengan bergabung dengan salah satu partai politik yang sudah mapan. Anies dan partai tersebut dapat membangun komitmen kerja sama politik jangka panjang hingga tahun 2029.

“Saya kira kesalahan Anies kemarin adalah karena dia melepaskan PKS. Itu adalah sebuah kesalahan. Dia sedikit meremehkan situasi karena tetap yakin bahwa NasDem dan PKB masih berada di pihaknya. Dan kemudian, ia berharap masih ada harapan dengan PDI-P,” jelas Firman.

Anies sebelumnya diusung oleh PKS, PKB, dan NasDem di Pilgub DKI. Namun, ketiga partai politik tersebut menarik dukungan mereka menjelang pendaftaran. Para elit PKS menyatakan bahwa Anies menolak untuk direkrut sebagai kader dan tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan PKS.

Setelah PKS, PKB, dan NasDem bergabung dalam KIM plus, Anies bertumpu pada PDI-P. “Namun, ia salah karena PDI-P adalah Megawati. Megawati tidak terlalu merasa senang atau dekat dengan Anies setelah Pilkada DKI 2017,” ujar Firman.

Source link

Exit mobile version