Fenomena calon tunggal melawan kotak kosong kian marak dalam Pilkada Serentak 2024. Menurut data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, saat ini terdapat 43 daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah dengan hanya satu calon. Dari jumlah tersebut, 1 di tingkat provinsi dan 42 di tingkat kabupaten/kota.
Jawa Timur (Jatim) dan Sumatera Utara (Sumut) menjadi daerah “penghasil” calon tunggal terbanyak. Di Jatim, pemilihan melawan kotak kosong akan dilaksanakan di Gresik, Ngawi, Trenggalek, Pasuruan, dan Surabaya. Sedangkan di Sumut, calon tunggal muncul di Tapanuli Tengah, Pakpak Bharat, Serdang Bedagai, Labuhan Batu Utara, Kabupaten Asahan, dan Nias Utara.
Muhammad Iqbal, seorang analis ilmu politik dari Universitas Jember, mengamati bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya Pilkada melawan kotak kosong di Jatim dan Sumut. Pertama, strategi penguasaan partai yang dilakukan oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM). Kedua, dominasi elektabilitas petahana.
Menurut Iqbal, hubungan kandidat dengan rezim Jokowi dan Prabowo menjadi faktor yang membuat partai politik bersikap pragmatis. Partai cenderung mendukung calon yang didukung oleh rezim dan enggan menghadirkan calon lawan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 100/2015 melegitimasi kotak kosong sebagai alternatif dalam pemilihan kepala daerah. Namun, menurut Iqbal, keputusan ini justru membuka peluang bagi partai politik untuk menghadirkan calon tunggal.
KIM bahkan mencoba untuk menjadikan Ridwan Kamil sebagai calon tunggal dalam Pilkada DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan motif untuk menghalangi kompetisi dengan memaksa calon yang diusung oleh kartel politik hanya bersaing dengan kotak kosong.
Dalam konteks Sumut, kombinasi petahana yang dominan dan strategi KIM terbukti dalam enam daerah yang menggelar pemilihan dengan kotak kosong. Hal ini mengakibatkan sebagian besar parpol merapat dalam koalisi untuk mengusung petahana.
Meskipun memiliki dasar hukum, Iqbal menyarankan bahwa Pilkada melawan kotak kosong sebaiknya dihindari oleh partai politik. Hal ini karena kompetisi yang tidak sehat dapat merugikan kualitas demokrasi di daerah dan melemahkan otonomi daerah.
Kesimpulannya, fenomena Pilkada lawan kotak kosong yang diwarnai oleh dominasi petahana, strategi partai, dan faktor politik tertentu perlu dipertimbangkan secara lebih mendalam agar demokrasi tetap berjalan sehat dan berkeadilan.