Ingin Anies Baswedan jadi calon gubernur, Daroji, 24 tahun, berencana untuk tidak akan mencoblos alias golput pada Pilgub DKI Jakarta 2024. Menurutnya, pasangan kandidat yang disodorkan partai politik dalam pilkada kali ini tidak ada yang sesuai dengan keinginannya.
“Saya ikut gerakan Anak Abah (Tusuk Tiga Calon) saja,” ucap Daroji saat berbicara dengan Alinea.id di Jakarta, Selasa (10/9).
Anak Abah merupakan nama yang diasosiasikan sebagai pendukung mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Meskipun elektabilitasnya dominan dalam Pilgub DKI, Anies tidak dapat tiket maju setelah Koalisi Indonesia Maju (KIM) terbentuk.
Saat ini, tiga pasang calon resmi terdaftar di KPU sebagai pasangan calon gubernur-wakil gubernur DKI, yaitu Ridwan Kamil-Suswono, Pramono Anung-Rano Karno, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Daroji mengaku kurang nyaman dengan ketiga pasang kandidat tersebut. “Tidak tertarik memilih mereka,” kata warga Slipi, Jakarta Barat.
Berbeda dengan Daroji, Ozi justru tidak ingin ambil pusing dengan konstalasi politik dalam Pilgub DKI Jakarta 2024. Namun, pria berusia 25 tahun itu mengaku akan tetap mencoblos.
Sebagai pengemudi ojek daring, Oji menantikan gebrakan dari semua kandidat untuk meningkatkan taraf hidup pekerja gig seperti dirinya.
“Kalau bisa dijadikan karyawan,” ucap warga Penjaringan, Jakarta Utara, kepada Alinea.id, Selasa (10/9).
Gerakan Anak Abah mengajak warga DKI untuk mencoblos semua foto yang terpampang pada surat suara. Dengan begitu, surat suara menjadi tidak sah. Ajakan ini disebut sebagai protes terhadap tersingkirnya Anies dari kontestasi Pilgub DKI.
Direktur Eksekutif Trias Politika Agung Baskoro menilai gerakan Anak Abah bisa berkembang jika ketiga calon tidak bisa meyakinkan segmen simpati Anies di Jakarta. Agung menyarankan agar para kandidat mengusung program-program yang serupa dengan yang digagas Anies saat menjabat sebagai Gubernur DKI.
Ketika ketiga calon ini tidak bisa mewakili kelompok mereka dengan baik, kemungkinan suara tidak sah atau abstain ini bisa meningkat,” ucap Agung kepada Alinea.id, Selasa (10/9).
Menurut Agung, Anak Abah masih bisa diajak berkompromi. Pemilih Jakarta, kata dia, bukan pemilih ideologis. Program masing-masing pasangan calon akan mempengaruhi preferensi pemilih nantinya.
“Golput dengan mencoblos ketiga kandidat, menurut Agung, tidak tepat pada pertarungan kepala daerah. Suara yang tidak sah bisa saja dimanfaatkan untuk memenangkan salah satu calon.
“Jadi Anak Abah sebaiknya memilih yang lebih banyak kemiripan programnya dengan Anies. Lebih baik daripada tidak memilih. Mereka yang dirugikan adalah mereka sendiri,” ucap Agung.
Agung menilai gerakan Anak Abah bisa mereda jika Anies ternyata mendukung salah satu pasangan calon. Pasangan yang didukung Anies kemungkinan besar akan memenangkan pertarungan elektoral.
“Jadi, ada Anies effect. Seperti di Pilpres 2024, ada Jokowi effect. Sementara di Pilkada DKI Jakarta 2024 ini, ada Anies effect,” ucap Agung.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana menilai seruan golput dari gerakan Anak Abah sebagai bentuk protes simpatisan Anies. Dalam konsep Jawa, kelompok yang ingin menghalangi Anies menggunakan strategi ‘tumpas kelor’.
“Jadi, kelompok oposisi tidak diberi kesempatan sama sekali. Dihabiskan, dibersihkan dengan cara-cara tertentu sehingga menimbulkan protes. Terutama dengan argumen tradisi demokrasi, bahwa ruang-ruang oposisi juga harus diberikan tempat,” ucap Asep kepada Alinea.id.
Dalam sejarah politik Indonesia, Asep menyatakan bahwa model tumpas kelor pernah digunakan oleh rezim Orde Baru untuk menghambat kekuatan Megawati dan PDI agar tidak tumbuh jelang Pemilu 1997. Menanggapi hal tersebut, kubu Megawati berkoalisi dengan PPP untuk menghadapi Golkar dan Orde Baru.
“Jadi, muncul pasangan Mega-Bintang. Tumpas kelor sering terjadi di Indonesia ketika kekuasaan sangat dominan dan tidak memberikan kesempatan ruang. Mereka melakukan tindakan protes yang relatif kreatif. Pada tahun 1997, saat Golkar sangat dominan, fenomena koalisi PDI-PPP terjadi,” ucap Asep.
Asep memprediksi gerakan Anak Abah tidak akan berkembang. Menurutnya, mayoritas pendukung Anies berasal dari kalangan menengah dan terdidik. Anies kurang berpengaruh di kalangan kelas bawah atau kelompok miskin kota.
“Kekuatan Anies berada di kalangan menengah yang terdidik, berbicara secara efektif, aktif di media sosial. Namun, di akar rumput, ia tidak terlalu populer. Kecuali jika di akar rumput Anies memiliki tokoh-tokoh yang bisa menjadi pendukungnya,” ucap Asep.
Meski begitu, Asep menilai potensi peningkatan jumlah pemilih yang golput dalam Pilgub DKI Jakarta harus diantisipasi. Ia menyebut ada dua jenis golput di Jakarta.
Pertama, golput dari kalangan menengah. Mereka menggunakan golput sebagai strategi politik, yaitu untuk meningkatkan posisi tawar agar bisa lebih diakomodasi oleh kandidat. Kedua, golput dari kalangan bawah.
“Yang golput karena frustasi dengan politik elit sehingga enggan memilih. Jika mereka diajak berdialog, akan menjadi simpatik dan dapat berbalik mendukung,” ucap Asep.