Organisasi paramiliter Hezbollah menanggapi keras serangkaian ledakan bom di Lebanon yang diduga dilakukan oleh badan intelijen Israel. Deputi pemimpin tertinggi Hezbollah, Naim Qassem, menyatakan bahwa Hezbollah siap untuk berperang secara terbuka dengan Israel.
“Ancaman tidak akan menghentikan kami. Kami siap menghadapi segala kemungkinan militer,” kata Qassem seperti dilansir dari Washington Post, Senin (23/9).
Selama beberapa hari terakhir, Lebanon dilanda ledakan bom dan walkie-talkie. Setidaknya 40 orang tewas dan 3.000 lainnya luka-luka. Sejumlah pemimpin militer Hezbollah juga menjadi korban, termasuk Komandan Pasukan Radwan, Ibrahim Akil.
Israel tidak mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom tersebut. Namun, Hezbollah yakin bahwa serangan tersebut dilakukan oleh unit intelijen Israel di bawah Mossad. Terlebih lagi, bom-bom tersebut meledak setelah menerima pesan berantai dari seorang pemimpin Hezbollah.
Qassem menyatakan bahwa Hezbollah akan terus meluncurkan roket dari utara Lebanon hingga Israel meninggalkan Gaza, Palestina. “Hezbollah memasuki fase baru dalam perang melawan Israel,” tandas Qassem.
Sejak pecahnya perang antara Israel dan Hamas pada Oktober 2023, Hezbollah telah bergabung sebagai sekutu Hamas. Secara berkala, milisi Hezbollah meluncurkan roket ke wilayah Israel. Kontak senjata antara pasukan Israel dan Hezbollah kerap terjadi di wilayah perbatasan Israel-Lebanon hampir setiap hari.
Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, berjanji untuk menanggapi Hezbollah. Dia menegaskan bahwa Israel akan melakukan segala upaya untuk mengembalikan stabilitas keamanan negaranya setelah serangkaian rudal Hezbollah menyerang pemukiman dan instalasi militer Israel.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Robi Sugara, memprediksi bahwa perang terbuka antara Israel dan Hezbollah akan terjadi. Namun, dia pesimis bahwa Iran dan Suriah akan terlibat secara langsung dalam perang tersebut.
Sebagai proxy dari Iran dan bersekutu dengan Suriah, Hezbollah dianggap sebagai satu-satunya organisasi paramiliter di Timur Tengah yang dapat menandingi kekuatan militer Israel. Hezbollah juga menolak kehadiran Israel di Palestina.
“PBB tidak akan mampu melakukan banyak hal. Meskipun upaya pencegahan dilakukan, perang akan tetap terjadi. Kecuali ada keterlibatan aktif dari negara-negara Arab untuk meredakan ketegangan,” jelas Robi.
Pakar hubungan dan keamanan internasional dari Universitas Budi Luhur (UBL), Andrea Abdul Rahman, sepakat bahwa PBB tidak akan mampu menghentikan pecahnya perang antara Israel dan Hezbollah. Pasalnya, Amerika Serikat masih mendukung Israel.
Menurutnya, negara-negara di kawasan Teluk seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, Bahrain, Yaman, Aljazair, Libya, Tunisia, dan Maroko dapat meredakan ketegangan antara Israel dan Hezbollah. Salah satu cara adalah dengan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Israel.
“Andrea juga menyatakan bahwa situasi politik di Timur Tengah dan Eropa akan rumit jika Israel dan Hezbollah terlibat dalam perang terbuka. Banyak negara di Eropa tidak dapat melakukan tindakan untuk menghentikan perang karena memiliki hubungan ekonomi dengan Israel.
“Korban jiwa harus diperhatikan dan tidak boleh dianggap hanya sebagai angka belaka. Sangat disayangkan bahwa PBB tidak dapat berbuat banyak dan negara-negara besar seolah-olah tidak peduli. Padahal, dampaknya bisa sangat luas,” tandasnya.
Andrea juga berpendapat bahwa Iran dan Suriah tidak akan terlibat secara langsung dalam perang tersebut. Suriah saat ini terpecah menjadi beberapa faksi dan masih terjebak dalam konflik internal.
“Iran pasti akan mendukung Hezbollah karena Hezbollah membutuhkan persenjataan. Semua persenjataan dukungan datang dari Iran,” katanya.