Home Politik Mengawasi Penyalahgunaan Bantuan Sosial dalam Pilkada Serentak 2024

Mengawasi Penyalahgunaan Bantuan Sosial dalam Pilkada Serentak 2024

Sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2024, bantuan sosial (bansos) masih rawan digunakan untuk memengaruhi preferensi politik publik di Pilkada Serentak 2024. Meskipun direkomendasikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sampai saat ini belum ada regulasi yang melarang distribusi bansos menjelang pemilu.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafiz menilai bahwa operasi politik yang memanfaatkan bansos terutama rentan terjadi di pilkada strategis, seperti Pilgub Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Di ketiga provinsi tersebut, Koalisi Indonesia Maju (KIM) – koalisi partai pendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran) – sepakat untuk mengusung pasangan calon yang sama. Di Jawa Timur, misalnya, semua partai anggota KIM satu suara mendukung petahana Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak.

“Telah ada rekomendasi terkait bansos dalam putusan MK perselisihan hasil pemilihan presiden sebelumnya meskipun bansos ini tidak dianggap sebagai pelanggaran yang kemudian menguntungkan salah satu pasangan calon,” kata Kahfi kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (1/10).

MK merekomendasikan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membuat regulasi yang mencegah distribusi bansos menjelang pemilu. Dalam sidang sengketa pilpres, Presiden Jokowi dituduh menggunakan bansos dan melanggar UU APBN untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.

Di Pilkada Serentak 2024, Jokowi juga telah memiliki calon kepala daerah yang disetujui untuk maju di berbagai pilkada. Di Pilgub Jateng, misalnya, eks Kapolda Jateng Ahmad Luthfi disebut sebagai “orang Jokowi.”

Selain pasangan yang didukung Jokowi dan KIM, menurut Kahfi, penyalahgunaan bansos juga berpotensi dilakukan oleh kandidat dari kalangan petahana. Pasangan calon yang berstatus petahana masih memiliki akses terhadap sumber daya pemerintahan di tingkat lokal.

“Mereka sangat berpotensi untuk memanfaatkan sumber daya negara. Oleh karena itu, harus ada panduan yang jelas. Selama ini kita tidak memiliki panduan yang jelas dalam penyaluran bansos di masa pemilu. Ini memang sangat rawan untuk dihubungkan dengan calon atau kandidat kepala daerah tertentu,” ungkap Kahfi.

Bansos dianggap sebagai senjata Jokowi untuk meningkatkan elektabilitas Prabowo-Gibran di Pilpres 2024. Sejak akhir 2023 hingga awal 2024, Jokowi telah memberikan berbagai jenis bansos, mulai dari yang reguler, bentuknya sembako, hingga uang tunai.

Pengajar kesejahteraan sosial dari Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis mengatakan bahwa penyalahgunaan bansos pada Pilkada Serentak 2024 tidak akan seburuk pada Pilpres 2024. Pasalnya, konfigurasi politik di daerah berbeda dengan pusat seperti pada saat pilpres.

“Memang ada beberapa kandidat yang berhubungan dengan kepentingan dari pemerintah pusat. Tetapi, saya kira momentumnya sudah lewat karena ini sudah mencapai puncaknya sebelumnya. Kedua, ini tidak efektif karena simbol-simbolnya akan menggunakan simbol kepala daerah,” ucap Rissalwan.

Daripada bansos yang diberikan, menurut Rissalwan, Bawaslu harus lebih waspada terhadap praktik politik uang di pilkada. Kalangan petahana, kata dia, berpotensi untuk melakukan “serangan fajar” atau meluncurkan program yang menggunakan anggaran pemerintah daerah.

“Atau dari pengusaha daerah. Mungkin juga ada dari pemerintah pusat. Namun, tentu tidak seintens ketika presidennya belum terpilih,” ucap Rissalwan.

Source link

Exit mobile version