Bermodalkan revisi No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, Presiden terpilih Prabowo Subianto akhirnya menambah sejumlah kementerian baru di pemerintahannya. Total ada 48 kementerian baru di Kabinet Merah Putih. Tujuh di antaranya adalah kementerian koordinator (kemenko) dan sisanya kementerian teknis.
Sebagian besar kementerian baru tersebut berasal dari pemekaran kementerian sebelumnya. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, misalnya, dibagi menjadi Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif. Pada tingkat kemenko, Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) kini dibagi menjadi Kemenko Politik dan Keamanan, serta Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan.
Mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sebastian Salang, mengatakan bahwa keputusan Prabowo untuk menambah jumlah kementerian memiliki berbagai konsekuensi serius. Selain anggaran operasional pemerintah pusat yang akan meningkat signifikan, Prabowo juga akan menghadapi kesulitan dalam membagi kantor, menyusun struktur kementerian baru, dan birokrasi.
Masalah-masalah tersebut, menurut Sebastian, tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Di sisi lain, pelayanan terhadap publik juga akan terganggu karena panjangnya rantai birokrasi. Pengambilan keputusan di tingkat kementerian juga dapat menjadi rumit karena masalah koordinasi antar kementerian.
“Meskipun dengan pemekaran kementerian ini, ada argumen yang menyatakan bahwa pekerjaan akan menjadi lebih terfokus dan lebih cepat direspon dan diselesaikan,” kata Sebastian kepada Alinea.id pada Sabtu (19/10).
Sebastian pesimis bahwa kementerian-kementerian baru tersebut akan dapat bekerja dengan cepat. Kinerja kementerian hanya akan efektif dan efisien jika Prabowo mampu mengontrol para menterinya dan ego sektoral kementerian dapat dikesampingkan.
“Faktanya, bahkan dengan jumlah kementerian yang terbatas, proses koordinasi lintas kementerian sangat sulit dan menyebabkan sejumlah kebijakan strategis nasional tidak berjalan,” kata mantan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) itu.
Lebih lanjut, Sebastian mengakui bahwa peningkatan jumlah menteri merupakan upaya Prabowo untuk mengakomodasi partai pengusung dan tim yang mendukungnya. Masyarakat diharapkan dapat berharap bahwa kabinet yang besar ini dapat bergerak dengan cepat.
“Semoga kabinet yang besar ini dapat melaksanakan pikiran dan program-program yang dijanjikan oleh Prabowo. Tahun pertama ini merupakan ujian awal baginya. Jika ia tidak dapat membuktikannya, Prabowo akan di-bully oleh pendukungnya sendiri dan masyarakat umum,” ujarnya.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan tidak yakin bahwa pemecahan kementerian didasarkan pada kebutuhan negara sebagaimana yang diklaim oleh Prabowo. Menurutnya, ada banyak kementerian yang seharusnya tidak perlu dibagi.
Dia memberikan contoh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Di luar negeri, kementerian yang bertanggung jawab atas pariwisata dan ekonomi kreatif umumnya dipisah. Namun, menurut Anthony, pemisahan semacam itu belum diperlukan di Indonesia karena ekonomi kreatif masih belum berkembang pesat.
Di samping itu, Anthony meragukan kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengakomodasi program-program dan kebutuhan dari kementerian yang besar seperti itu. Ruang gerak APBN saat ini sangat terbatas karena belanja rutin yang sangat besar mencapai sekitar 86-88% dari total anggaran pengeluaran pemerintah pusat.
“Belanja pegawai, belanja barang, termasuk biaya pemeliharaan, pembayaran bunga utang, subsidi, dan bantuan sosial. Itu sudah termasuk utang dari defisit anggaran yang mencapai sekitar Rp337 triliun atau sekitar 15% dari total pengeluaran pemerintah pusat pada tahun 2023,” jelasnya.
Dengan beban kementerian yang besar, Anthony pesimis bahwa Prabowo akan dapat melaksanakan program-program yang ia janjikan selama kampanye, termasuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengentaskan kemiskinan.
Menurut Anthony, pemerintahan Prabowo mungkin akan mengorbankan anggaran untuk bantuan sosial. “Bahkan, kondisi sosial selama lima tahun terakhir memburuk. Belanja subsidi dan bantuan sosial seharusnya meningkat pada era pemerintahan Jokowi namun malah dipangkas,” ujar Anthony.