Hasil survei elektabilitas paslon di Pilkada Serentak 2024 kembali memicu polemik. Kali ini, perbedaan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Indikator Politik Indonesia yang merekam elektabiltias kandidat di Pilgub Jateng 2024 disoroti.
Dalam survei teranyarnya, SMRC “menjagokan” pasangan Andika Perkasa-Hendrar Prihadi (Andika-Hendi), sedangkan Indikator mengunggulkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin (Luthfi-Yasin). Meski begitu, elektabilitas kedua paslon di masing-masing survei tidak terpaut jauh.
Melibatkan 3.500 responden, survei Indikator digelar pada 7-13 November 2024. Sigi Indikator menemukan tingkat keterpilihan Luthfi-Yasin sebesar 47,19%, sedangkan Andika-Hendi meraup 43,46%. Namun, masih ada 9,35% responden yang tak menjawab atau belum menentukan pilihan.
Adapun survei SMRC dilakoni pada 7-12 November 2024. Hasilnya, Andika-Hendi unggul tipis dengan elektabilitas sebesar 50,4%. Luthfi-Yasin mengoleksi 47%. Sebanyak 2,6% responden tak menjawab atau belum menentukan pilihan.
Analis politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Fitriyah melihat perbedaan hasil survei antara SMRC dan Indikator Politik masih relatif wajar karena selisih tingkat keterpilihan para paslon masih di rentang margin of error atau batas galat.
“Tinggal lihat tren. Kalau masih satu garis, ya, artinya memang biasa. Beda dengan kasus di Pilgub DKI Jakarta. Itu karena dalam waktu satu minggu bisa ada tren kenaikan. Mendekati hari pemungutan suara itu yang undecided voter itu mulai mengambil keputusan sehingga bisa menambah (elektabilitas paslon),” kata Fitriyah kepada Alinea.id, Selasa (18/11).
Sebelumnya, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Poltracking Indonesia terkait elektabilitas tiga paslon pada Pilgub DKI Jakarta 2024 memunculkan kontroversi. Hasil survei kedua lembaga itu jauh bertolak belakang.
Pada survei Poltracking, pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido) menduduki posisi puncak dengan tingkat keterpilihan sebesar 51,6%, sedangkan Pramono Anung-Rano Karno (Pramono-Rano) meraup 36,4%. Di posisi terbontot, pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardhana (Dharma Kun) hanya meraup 3,9%.
Pada survei LSI, pasangan calon RK-Suswono turun ke posisi kedua dengan tingkat keterpilihan sebesar 37,4%. Pramono-Rano memuncaki papan survei dengan elektabilitas sebesar 41,6%. Dharma-Kun hanya mengantongi 6,6%.
Akibat polemik itu, petinggi kedua lembaga survei dipanggil Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Dari hasil pemeriksaan, Persepi menyatakan suvei Poltracking tak bisa divalidasi kebenarannya. Poltracking disanksi tak boleh merilis survei tanpa restu Persepi. Tak terima, Poltracking cabut dari Persepi.
Fitriyah menganggap wajar jika hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya kerap berbeda karena pemilihan komponen variabel yang diteliti. Apalagi jika elektabilitas paslon bersaing ketat. Jika tidak ada dinamika yang signifikan mengubah peta elektoral, semestinya hasil survei semua lembaga identik.
Berkaca dari kasus LSI vs Poltracking serta rilis sejumlah lembaga survei pada Pilpres 2024, Fitriyah menilai sudah saatnya lembaga survei diawasi ketat. Meskipun berstatus sebagai perusahan swasta, lembaga survei menghasilkan produk yang berkaitan erat dengan “kepentingan” publik.
Ia mengusulkan dua opsi pengawasan. Pertama, pengawasan oleh dewan etik di internal asosiasi lembaga survei yang anggotanya terbebas dari kepentingan alias bukan bagian dari lembaga survei. Kedua, dibentuk sebuah lembaga di luar asosiasi lembaga survei untuk menjadi pengadil jika sebuah survei dianggap bermasalah.
“Sebagai contoh, DPR itu lembaga etikanya ada di dalam lewat MKD. Mahkamah Konstitusi juga begitu. Ada Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Tetapi, ada juga KPU yang diawasi lembaga etik di luar, yaitu DKPP. Dulu DKPP dibuat di luar karena memang kalau lembaga etik itu di dalam tubuh KPU, potensial ada konflik kepentingan,” ucap Fitriyah.
Analis politik dari Universitas Brawijaya (Unibraw) George Towar Ikbal Tawakkal sepakat hasil survei SMRC dan Indikator Politik terkait elektabilitas paslon di Pilgub Jateng masih terbilang wajar. Perbedaan hasil survei sangat mungkin terjadi karena beragam faktor. Salah satunya ialah perbedaan metode dalam menentukan responden.
“Penentuan berdasar wilayah sosiologis bisa saja berbeda antar lembaga survei. Itu sah. Misal, ada yang menganggap, survei harus terbagi di Jateng Mataraman, Jateng Banyumasan, dan Jateng Pantura karena itu mencerminkan karakteristik masyarakat Jateng. Survei lain bisa aja berbeda, membagi menjadi wilayah abangan dan wilayah santri. Itu juga sah,” kata Ikbal kepada Alinea.id, Senin (18/11).
Perbedaan hasil juga bisa disebabkan karena besaran persentase responden yang tidak menjawab dalam kedua survei tersebut. Pada survei Indikator, angka responden yang belum menentukan pilihan hampir 10%, sedangkan pada SMRC, angkanya hanya kisaran 2%.
“Artinya, seandainya 10% yang Indikator Politik itu menjawab, maka kemungkinan elektabilitas kedua pasangan juga meningkat di sekitar angkanya SMRC. Oleh karena itu, perbedaan hasil survei tidak selalu berarti manipulasi,” kata Ikbal.
Terlepas dari itu, Ikbal sepakat harus ada lembaga yang diberi mandat mengawasi lembaga survei. Dia menyarankan agar Badan Riset dan Inovasi Nasional menjadi lembaga yang diberi kewenangan mengawasi kerja ilmiah lembaga survei.
“Tidak perlu bikin lembaga baru. BRIN bisa diberi kewenangan itu karena survei adalah kegiatan yang mempekerjakan aspek-aspek ilmiah yang memiliki metode dan analisis,” kata Ikbal.