Wednesday, March 26, 2025

SPKLU Mobil Listrik di...

PLN telah menyiapkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik (SPKLU) untuk menyambut lonjakan pengguna mobil...

Safari Ramadhan Masjid Al-Hikmah...

Setelah mengadakan acara pembukaan resmi Gerakan Pangan Murah untuk Stabilitas Pasokan dan Harga...

Penawaran Pemutihan Harga, Cuma...

Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) telah memutuskan untuk menghapus seluruh tunggakan pajak...

ASN Pemko Pekanbaru: TPP...

Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru telah menegaskan bahwa pembayaran Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) dan...
HomePolitikPentingnya suara generasi...

Pentingnya suara generasi Z dalam Pilgub Jakarta

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta sudah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pilgub Jakarta sebanyak 8.214.007 jiwa. milenial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (kelahiran 1997-2012) yang bakal ikut dalam pecoblosan pada 27 November 2024 mendatang mengambil porsi kurang lebih 50%. Suara mereka menjadi kunci kemenangan pasangan calon pemimpin Jakarta kelak.

Berdasarkan survei Litbang Kompas yang digelar pada 20-25 Oktober 2024, calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono mendapat 40,6% dukungan generasi Z. Bersaing ketat dengan pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang meraih sebanyak 31,3%. Sedangkan Dharma Pongrekun-Kun Wardana hanya 4,2%. Sebagian besar dari generasi Z yang bakal berpartisipasi dalam Pilgub Jakarta merupakan pemilih pertama.

Menurut Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) Farhan Badiuz, yang juga masuk dalam kalangan generasi Z, ketiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sejauh ini, dia mengaku masih memantau program-program para kandidat yang dapat menjawab segala masalah di Jakarta.

Farhan menyebut, ada banyak isu yang menjadi perhatian generasi Z yang harus dibenahi oleh pemimpin Jakarta nanti, di antaranya kemacetan, banjir, polusi udara, transportasi umum, pengelolaan sampah, pendidikan, kesehatan, dan kesenjangan antara miskin dan kaya.

“Masih banyak lagi hal-hal kecil yang harus dibenahi. Itu hanya sebagian saja yang saya sebutkan,” kata Farhan kepada Alinea.id, Rabu (20/11).

Mahasiswa yang juga merupakan bagian dari generasi Z, kata Farhan, memiliki peran penting dalam mengawal proses demokrasi. Menurutnya, mahasiswa punya kapasitas intelektual untuk menjadi pemilih cerdas karena terbiasa dengan riset dan diskusi.

“Kami dari BEM mengadakan diskusi publik secara rutin untuk memberikan edukasi kepada mahasiswa. Tujuannya agar mereka memilih pemimpin berdasarkan visi, misi, dan gagasan, bukan tren atau gimik semata,” kata Farhan.

Sementara itu, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati melihat, ada sebanyak 23% pemilih di Pilgub Jakarta adalah generasi Z, yang berusia 18-24 tahun.

“Proporsi ini menunjukkan, segmen pemilih Jakarta kini makin muda dari segi usia,” ujar Wasisto, Rabu (20/11).

Menurut Wasisto, generasi Z memiliki perhatian yang besar terhadap isu ketersediaan lapangan pekerjaan. Isu itu sangat relevan, mengingat angka pengangguran di Jakarta mencapai 6%, di mana sekitar 70% di antaranya adalah generasi muda.

“Ketersediaan lapangan kerja adalah isu krusial bagi generasi Z dalam menentukan pilihan politik mereka,” ucap Wasisto.

“Generasi Z cenderung responsif terhadap isu yang dekat dengan kehidupan mereka, seperti pekerjaan dan lingkungan. Ini menjadi titik strategis bagi pasangan calon untuk mendekati mereka.”

Dia juga menyoroti kesenjangan usia antara pasangan calon dengan generasi Z. Hal ini menjadi tantangan dalam pendekatan politik. “Cara mendekati segmen ini harus inklusif. Kesenjangan usia membuat paslon perlu strategi khusus untuk bisa lebih relevan dengan generasi Z,” kata Wasisto.

Meski antusiasme generasi Z dalam politik adalah peluang besar untuk menggerakkan perubahan, tetapi Wasisto mengingatkan, mereka harus diarahkan dengan baik. Wasisto mengatakan, keteribatan generasi Z dalam politik masih menghadapi tantangan berupa kesenjangan pemahaman politik.

Banyak dari mereka, kata Wasisto, juga lebih terpengaruh oleh narasi populer di media sosial, seperti TikTok atau Instagram, yang belum tentu relevan dengan isu-isu utama di Jakarta. Dia mengingatkan, media sosial pun punya sisi negatif berupa disinformasi.

“Arus disinformasi di platform media sosial ini bisa membingungkan mereka,” kata Wasisto.

“Edukasi politik perlu ditingkatkan, baik oleh pemerintah, universitas, maupun komunitas yang peduli pada masa depan demokrasi. Ini penting, agar antusiasme mereka tidak hanya menjadi euforia sesaat, tetapi juga memberikan dampak nyata.”

Source link

Semua Berita

Dedi Mulyadi cs: Kecintaan atau Pencitraan? Analisis Reality Show

Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi lagi menjadi perbincangan di media sosial. Kali ini, Dedi terlihat menangis saat melihat kerusakan alam di Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (6/3). Saat melakukan inspeksi di sejumlah tempat wisata di Puncak, termasuk...

Prabowo Berperan Sebagai ‘Pemadam Kebakaran’ Terhadap Kebijakan Menteri

Setelah mendapat banyak protes dari masyarakat, pemerintah mengubah kebijakan terkait penundaan pengangkatan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) dan Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hasil seleksi 2024. Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) harus diangkat paling lambat bulan Juni...

Alasan Publik Menolak Penambahan Pos Sipil untuk TNI

Pemerintah dan DPR RI sedang mengkaji revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Revisi ini mencakup perpanjangan masa pensiun personel TNI serta penambahan lima jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif TNI tanpa...

Kategori Berita