Tuesday, December 3, 2024

Aktivis Menghidupkan Tradisi Leuit...

Yayasan Paseban bersama Arista Montana memfokuskan upaya pelestarian leuit sebagai cara menjaga ketahanan pangan berbasis kearifan lokal di tengah tantangan modernisasi.

Irving-Sugianto 9,8%, Afni-Syamsurizal 31,6%,...

Nusaperdana.com,Pekanbaru—Lembaga Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei tiga pasangan calon bupati-wakil...
HomePolitikDarurat dinasti politik...

Darurat dinasti politik di Pilkada Serentak 2024

Wabah politik dinasti membekap Pilkada Serentak 2024. Hasil riset kolaborasi antara Institute for Advanced Research (IFAR) Unika Atma Jaya, Election Corner Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), dan pusat riset politik dan pemerintahan PolGov UGM menemukan ada 605 calon dengan latar belakang politik dinasti ikut dalam pilkada serentak kali ini. 

Yang tergolong kandidat dari politik dinasti ialah para calon kepala daerah yang memiliki anggota keluarga yang pernah menjabat sebagai kepala pemerintahan atau legislator di tingkat nasional dan subnasional. Batasan keluarga mencakup suami, istri, anak, orangtua, kakak atau adik, cucu, paman atau bibi, menantu, ipar, besan, keponakan, dan sepupu. 

Menurut riset IFAR cs, para calon dari dinasti politik tersebar di 352 pilkada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Dari 605 orang, , sebanyak 384 orang berstatus sebagai calon kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, atau wali kota, serta sebanyak 221 orang maju sebagai calon wakil kepala daerah.

Jika dibandingkan dengan pilkada serentak sebelumnya, jumlah kandidat dari politik dinasti kali ini cenderung meningkat. Pada Pilkada Serentak 2017, terdapat 37 calon yang terafiliasi politik dinasti, sedangkan pada Pilkada Serentak 2018 tercatat sebanyak 109 kandidat dari dinasti. Pada Serentak 2020, angkanya naik jadi 160 kandidat. 

Analis politik dari Universitas Jember Muhammad Iqbal mengatakan maraknya kandidat dari dinasti politik di Pilkada Serentak 2024 mengindikasikan kualitas demokrasi Indonesia kian memburuk. Demokrasi Indonesia, kata dia, semakin bercorak aristokrasi.

“Yang rentan jatuh ke model otokrasi. Era reformasi yang semestinya memperkuat otonomi kesetaraan dan keadilan terutama dalam kontestasi calon pemimpin daerah, terbukti kini makin terjerembab dalam wajah feodal yang makin banal,” kata Iqbal kepada Alinea.id, Kamis (21/11).

Menurut Iqbal, suburnya politik dinasti di era Reformasi menjadi paradoks dan ironi. Berlindung menggunakan dalih setiap orang punya hak memilih dan dipilih, elite-elite politik menjustifikasi praktik pelanggengan politik dinasti pada level daerah yang rentan jadi salah satu penyebab utama maraknya kasus-kasus korupsi politik. 

“Akar kuat penyebab kian suburnya politik dinasti di Pilkada 2024 sejatinya karena mental feodal dan watak koruptif politik patron dan kroni di Indonesia. Hampir delapan puluh tahun kita menikmati Indonesia merdeka, tapi seolah lali (lupa) atau nglali pada spirit dan prinsip nilai demokrasi asli khususnya seperti yang Bung Hatta perjuangkan,” kata Iqbal.

Dalam risalah Demokrasi Kita, Wapres pertama RI Mohammad Hatta pernah merisaukan bakal lahirnya malapetaka politik dinasti sebagai kelanjutan praktik feodalisme. Hatta mengingatkan bahwa dalam pergaulan Indonesia yang asli, demokrasi hanya terdapat pada gagasan.

Namun, menurut Hatta, banyak muncul tokoh feodal yang tak setuju dengan kedaulatan rakyat dan lebih setuju “daulat Tuanku”. Hatta menegaskan demokrasi hanya berkembang jika kedaulatan dikembalikan pada rakyat. 

“Pendek kata, daulat Tuanku mesti diganti dengan daulat rakyat! Tidak lagi seorang bangsawan, bukan pula seorang tuanku, melainkan rakyat sendiri yang otonom dan menjadi raja atas dirinya sendiri,” jelas Iqbal. 

Menurut Iqbal, parpol juga mesti bertanggung jawab atas kian maraknya politik dinasti di berbagai daerah. Darurat politik dinasti merupakan cerminan gagalnya parpol sebagai pencetak calon pemimpin di daerah melalui sistem berbasis merit. 

Alih-alih berkeringat mencetak kader yang mumpuni, parpol cenderung bersikap pragmatis dengan mengusung politisi yang berlatar belakang dinasti sebagai calon kepala daerah. Dengan sumber daya atau jaringan yang kuat, kandidat dari politik dinasti dianggap lebih mudah dimenangkan. 

“Bila praktik politik patronase dan kroni yang feodalistik dan suburnya korupsi politik masih dominan, hampir pasti demokrasi Indonesia makin cacat. Inilah tantangan terbesar bagi pemerintahan Prabowo agar demokrasi Indonesia tidak dihantui paradoks, melainkan ia berkomitmen memperbaiki dengan terobosan yang  out of the box,” kata Iqbal.

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Zaki Mubarak sepakat mewabahnya dinasti politik dalam Pilkada Serentak 2024 mengindikasikan bahwa demokrasi di Indonesia semakin feodal.

Sirkulasi kekuasaan, kata dia, lebih banyak berkutat pada kerabat dan keluarga dekat. Padahal, demokrasi yang substantif mengharapkan kompetisi menuju puncak kekuasaan yang lebih inklusif atau terbuka dengan basis sistem merit.   

“Yaitu berdasarkan kompetensi, prestasi, pengalaman, loyalitas. Ini yang kurang berjalan maksimal. Pada aspek ini, lonjakan politik dinasti menjadi sinyal kemunduran demokrasi yang inklusif pada Pilkada Serentak 2024,” kata Zaki kepada Alinea.id. 

Dinasti politik yang menguat di berbagai daerah, kata Zaki, punya beragam dampak buruk. Kepentingan publik, misalnya, potensial dinomorduakan karena jabatan publik dibajak oleh orang-orang dari dinasti politik. 

“Banten contoh yang sangat jelas bagaimana politik dinasti yang menggurita membawa dampak tata kelola pemerintahan yang buruk: korupsi, kolusi dan nepotisme juga naik. Politik dinasti yang makin menancapkan kukunya juga berimbas kepada semakin sulitnya politisi-politisi yang baik dan bersih untuk tampil,” jelasnya. 

Menurut Zaki, perlu ada aturan yang membatasi dinasti politik berkembang di daerah. Pemerintah, parlemen, dan partai politik menyamakan persepsi tentang bahaya politik dinasti. “Jika terus dibiarkan berkonsolidasi, dan meluas, akan menggerus kualitas demokrasi kita,” imbuh dia. 

 

Source link

Semua Berita

Skenario satu putaran setelah Anies mendukung Pram-Rano…

Mantan Gubernur DKI Jakarta semakin terang-terangan mendukung pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pramono-Rano) di Pilgub DKI...

Sesat pikir pemilu sepuluh tahunan ala DPR

Usul memperpanjang siklus pemilu hingga sepuluh tahun mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara perwakilan...

Pentingnya suara generasi Z dalam Pilgub Jakarta

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta sudah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pilgub Jakarta...

Kategori Berita