Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto memberikan dukungan terbuka kepada kandidat dalam pilkada di berbagai daerah, yang berdampak pada hasil akhir pemilihan. Dukungan dari kedua pemimpin tersebut dianggap sebagai kunci keberhasilan beberapa kandidat. Contohnya, di Pilgub Jawa Tengah, Jokowi menjadi juru kampanye untuk pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin. Di sisi lain, Prabowo juga mendukung Luthfi-Yasin melalui sebuah video yang viral sebelum pencoblosan.
Dukungan terbuka dari kedua presiden ini menimbulkan pertanyaan seputar netralitas kepala negara dalam pilkada. Pakar hukum menyoroti perlunya aturan yang tegas untuk mengatur aktivitas presiden di pentas pilkada. Namun, hingga saat ini, regulasi yang berlaku dianggap belum cukup untuk mencegah presiden agar tidak terlibat secara langsung dalam kampanye pilkada.
Selain di Jawa Tengah, Jokowi dan Prabowo juga memberikan dukungan terbuka dalam Pilgub DKI Jakarta. Keberadaan kedua presiden dalam acara kampanye pilkada menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Agus Riewanto, seorang ahli hukum tata negara, menilai bahwa cawe-cawe kepala negara dalam pemilihan umum harus dihentikan. Ia menegaskan bahwa kehadiran presiden dalam kampanye kandidat dapat mengganggu netralitas pilkada.
Agus menyarankan adanya revisi dalam undang-undang yang mengatur keterlibatan presiden dalam pemilu dan pilkada. Menurutnya, aturan yang jelas dan tegas diperlukan untuk melindungi netralitas presiden dalam proses pemilihan umum. Suwardi Sagama, seorang dosen hukum tata negara, juga mengungkapkan bahwa cawe-cawe presiden telah merusak prinsip otonomi daerah. Ia menyoroti perlunya pengaturan yang memastikan netralitas kepala negara dan menjaga kemandirian daerah dalam pemilihan kepala daerah.