Wacana untuk menempatkan Polri di bawah naungan TNI atau Kemendagri kembali menjadi perbincangan di parlemen. Anggota Komisi III DPR RI, Deddy Sitorus, berpendapat bahwa Polri seharusnya berada di bawah kendali Kemendagri karena sering mengalami masalah internal dan terlibat dalam politik praktis. Sejak dipisahkan dari TNI pada tahun 2000, Polri seharusnya menjadi lembaga sipil bersenjata yang independen dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Namun, menurut Deddy, Polri semakin kehilangan independensinya dan terlibat dalam politik praktis.
Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, juga menyebutkan bahwa aparat penegak hukum turut terlibat dalam Pilkada Serentak 2024. Istilah “partai cokelat” atau “parcok” viral di media sosial merujuk pada dugaan keterlibatan Polri dalam berbagai pilkada, karena Polri diidentikkan dengan warna cokelat. Menurut guru besar ilmu politik dan keamanan Universitas Padjadjaran, Muradi, wacana menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri keliru. Menurutnya, Polisi di negara demokratis seharusnya tidak memprioritaskan pendekatan bersenjata.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto, menjelaskan bahwa Polri kini menjadi lembaga sosial politik karena struktur organisasinya yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan jumlah anggota mencapai 450 ribu personel dan keluarga mereka, Polri bisa digunakan sebagai mesin politik dalam pemilu. Bambang juga setuju bahwa Polri sebaiknya ditempatkan di bawah kementerian untuk pengawasan yang lebih maksimal, namun menolak wacana menempatkan Polri di bawah TNI karena melanggar amanat reformasi. Jika tidak di bawah Kemendagri, Bambang menyarankan agar pemerintah membentuk Kementerian Keamanan untuk menaungi Polri, sesuai dengan TAP VI/MPR/2000.