Di tengah gemerlap lorong-lorong supermarket yang panjang dan berkelok, seringkali konsumen seperti Kayla (31) terpikat oleh produk-produk yang dipajang dengan berbagai warna dan pencahayaan yang menarik. Pusat perbelanjaan modern ini memberikan kepuasan maksimal bagi para pengunjungnya, namun seringkali menyajikan semacam ilusi. Kisah Kayla yang sederhana ini sebenarnya merepresentasikan fenomena pembelian impulsif yang umum terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Teori hierarki kebutuhan dari Abraham Maslow menggambarkan bagaimana kebutuhan dasar manusia berkembang menjadi kebutuhan yang lebih tinggi seiring pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam konteks sosial dan ekonomi saat ini, kebutuhan berperan sebagai motivasi di balik perilaku manusia. Setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang dipengaruhi oleh kebutuhan tertentu, seperti yang dialami oleh Kayla, seorang executive muda yang sukses.
Pembelian impulsif yang dilakukan oleh Kayla sebenarnya merupakan hasil dari lingkungan belanja yang dirancang secara cermat untuk mempengaruhi perilaku konsumen. Dalam studi yang dilakukan oleh Farid dan Ali (2018) terungkap bahwa aspek kepribadian seseorang juga bisa mempengaruhi pembelian impulsif. Daya tarik dari tawaran promosi dan diskon, serta desain interior yang mirip labirin supermarket, dapat memicu pembelian yang tidak terencana dan berlebihan.
Dengan pemahaman yang lebih dalam tentang motivasi di balik pembelian impulsif, konsumen seperti Kayla bisa mengembangkan strategi untuk mengelola dorongan pembelian yang tidak rasional. Melalui kesadaran diri, introspeksi, dan perencanaan yang cermat, kita bisa memprioritaskan kebutuhan sejati dan mengurangi pembelian yang tidak perlu. Hal ini bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga tentang memilih gaya hidup yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami konsekuensi dari pembelian impulsif dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya.