Permintaan pengujian materi terhadap Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali diajukan oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi. Saat ini, setidaknya ada empat perkara dengan materi yang sama yang diajukan oleh para pemohon.
Salah satunya adalah perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili oleh Hadar Nafis Gumay sebagai pemohon I dan Titi Anggraini sebagai pemohon II.
Dalam dokumen permohonan uji materi tersebut, keduanya berpendapat bahwa terdapat ketidaksesuaian antara tujuan pengaturan ambang batas pencalonan presiden dengan fakta empiris di lapangan.
Pasal 222 UU Pemilu mengamanatkan bahwa partai politik atau koalisi partai politik harus mengumpulkan 20% suara untuk dapat mencalonkan kandidat dalam pemilihan presiden.
“Titi mengusulkan agar partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPR dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa ambang batas,” kata Titi dalam siaran pers yang diterima dari Alinea.id pada Jumat (23/8).
Sementara bagi partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR, menurut Titi, mereka tetap dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden jika membentuk koalisi dengan jumlah partai minimal 20% dari keseluruhan jumlah partai politik yang ikut dalam pemilu.
“Aisah Putri Budiatri, seorang peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga setuju bahwa perlu dilakukan revisi terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Menurutnya, tidak tepat jika ambang batas pencalonan presiden didasarkan pada hasil pemilu lima tahun sebelumnya,” kata Aisah kepada Alinea.id di Jakarta.
Aisah berpendapat bahwa persyaratan ambang batas pencalonan presiden hingga 20% hanya menguntungkan partai politik besar, sementara partai politik kecil cenderung terpinggirkan karena tidak dapat mencalonkan kandidat secara independen dalam pemilihan presiden.
Selain itu, Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, juga menilai bahwa praktik memborong partai dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta berpotensi terjadi dalam pemilihan presiden 2029. Ia setuju bahwa ambang batas pencalonan presiden sebesar 20% perlu diturunkan untuk mencegah situasi semacam itu terjadi.
Perlu adanya kajian komprehensif untuk merevisi formulasi aturan pencalonan presiden dan wakil presiden, dengan mempertimbangkan tujuan untuk menghadirkan calon alternatif dan menyederhanakan jumlah partai politik. Neni menilai bahwa angka ambang batas yang ideal adalah 2% untuk meminimalisir suara terbuang dan menjaga kompetisi yang sehat.
Meskipun sudah lebih dari 30 kali permohonan uji materi dilayangkan terhadap Pasal 222 UU Pemilu, belum ada satupun yang dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Beberapa analis menyebut Pasal tersebut sebagai pasal keramat yang sulit untuk diubah.