BA dan AA, dua anak dari pasangan Jhony Ambarita dan Nurinda Napitu, tidak pernah bisa merasa tenang lagi saat bertemu atau berpapasan dengan personel TNI atau Polri. Jika melihat polisi dalam seragam lengkap atau personel TNI di sekitar rumah mereka, kedua anak tersebut langsung kabur atau bersembunyi.
“Anak saya yang (usianya) sepuluh tahun itu kelas 5 SD dan yang delapan tahun itu kelas 4 SD. Tetapi, (mereka) masih ketakutan kalau di jalan ketemu aparat,” ujar Nurinda saat berbicara dengan Alinea.id via telepon, Kamis (4/9) lalu.
Menurut Nurinda, ketakutan terhadap aparat masih terasa di pikiran BA dan AA setelah melihat ayah mereka ditangkap polisi pada 22 Juli 2024. Dini hari itu, rumah Jhony dan Nurinda di Lamtoras Sihaporas, Simalungun, Sumatera Utara, digeledah oleh orang-orang tak dikenal.
Pintu rumah mereka dirusak. Suami Nurinda bahkan diancam dengan senjata api. BA, putra Nurinda yang berusia 10 tahun, juga mengalami kekerasan. Kepalanya dipukul ke tembok oleh salah satu personel berpakaian preman.
“Anak saya juga dicekik lehernya oleh aparat sambil mengatakan, ‘Diam kamu! Mau mati kamu?’ Sejak itu, dia menjadi murung sampai sekarang,” tutur perempuan berusia 38 tahun itu.
Baru kemudian Nurinda mengetahui bahwa orang-orang berpakaian preman tersebut adalah polisi dari Polres Simalungun. Mereka datang untuk menangkap Jhony, Thomson Ambarita, Giovani Ambarita, Prado Tamba, dan Dosmar Ambarita.
Kelima orang tersebut dikenal sebagai warga Sihaporas yang keras dalam menolak keberadaan PT. Toba Pulp Lestari (TPL) di daerah mereka. Mereka merasa perusahaan tersebut terus-menerus mengambil alih tanah adat Sihaporas. Polisi menganggap Jhony dan rekan-rekannya sebagai provokator.
Nurinda mengatakan bahwa trauma yang sama juga dialami oleh anaknya yang berusia 8 tahun. Saat Jhony ditangkap, AA menangis dan berteriak histeris. Selama dua hari setelah kejadian itu, AA tidak berani keluar rumah. “Setelah dipaksa, akhirnya mau sekolah,” kata Nurinda.
Guru-guru di sekolah juga tidak membantu. Nurinda menceritakan anak-anaknya sering pulang dalam keadaan murung. Ada guru yang sering mencela ayah mereka yang sekarang dipenjara karena berani menentang PT TPL.
“Akhirnya saya mengadukan pada kepala sekolah karena anak saya sering pulang sekolah dengan keluhan bahwa mereka malas belajar karena guru sering mencela. Akhirnya, kepala sekolah menegur guru tersebut,” ucap Nurinda.
Menurut Nurinda, ketakutan terhadap aparat menyebar di kalangan anak-anak di desanya. Ia yakin anak-anak yang orang tuanya ditangkap oleh polisi bersama dengan Jhony juga merasakan apa yang dirasakan oleh BA dan AA.
“Terlalu sering aparat masuk ke daerah kami. Anak-anak sangat ketakutan. Situasi di tempat kami sangat mencekam bagi anak-anak. Kami semakin tertekan,” ucap Nurinda.
Khawatir situasinya semakin memburuk, Nurinda sekarang telah mengadukan masalah ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). “Mereka akan mengirim surat kepada Markas Besar Polri untuk memberikan perhatian terhadap cara kekerasan yang terjadi di Polres Simalungun.
Konflik lahan antara masyarakat adat, perusahaan, dan pemerintah telah terjadi di Sihaporas sejak tahun 1913. Saat itu, lahan adat Sihaporas dipinjam oleh pemerintahan kolonial Belanda untuk dijadikan perkebunan pinus.
Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, tanah adat Sihaporas tidak dikembalikan. Pemerintah Indonesia mengambil alih tanah adat Sihaporas dan menjadikannya hutan negara. Sejak dikuasai oleh PT TPL pada tahun 1998, warga sulit berburu dan menjalankan ritual.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengungkapkan bahwa pengacara masyarakat adat Sihaporas telah mengirim surat pengaduan kepada Kompolnas. Ia berharap apa yang dialami oleh anak-anak di Sihaporas menjadi perhatian serius dari kepolisian.
“Kami sedang menunggu respons dari Polda (Sumatera Utara). Kami meminta Polda untuk menindaklanjuti pengaduan masyarakat adat Sihaporas yang melaporkan dugaan kekerasan berlebihan oleh aparat Polres Simalungun kepada masyarakat adat Sihaporas,” ucap Poengky kepada Alinea.id, Kamis (5/9).
Selain dari persekusi yang berlebihan oleh personel Polres Simalungun, Poengky juga mengatakan bahwa Kompolnas juga menerima laporan tentang dugaan diskriminasi. Laporan dari masyarakat adat seringkali tidak direspons, sedangkan respons terhadap PT. TPL cepat dilakukan oleh Polres Simalungun.
“Jika benar ada anggota Polres Simalungun yang melakukan kekerasan berlebihan dan diskriminasi, maka kami berharap para pelaku harus diproses secara hukum dan etika,” ucap Poengky.