Gelombang penolakan terhadap calon gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil (RK) terus mengalir. Yang terbaru, pria yang akrab disapa Kang Emil itu menemui penolakan saat berkunjung ke Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur. Beberapa warga marah karena RK mengadakan acara tanpa izin.
RK sudah memberikan penjelasan terkait insiden di Jatinegara tersebut. Menurutnya, yang terjadi hanyalah kesalahpahaman. Ia menegaskan bahwa tidak ada penolakan dari warga setempat. Bahkan, ia diundang oleh Badan Musyawarah (Bamus) Betawi untuk menghadiri acara tersebut.
“Pada akhirnya, karena kurang koordinasi, terjadilah hal seperti itu. Ini bukan hanya terjadi pada saya saja. Kurang lebih begitu,” ujar RK kepada media setelah mengunjungi kediaman Sutiyoso di Cibubur, Jawa Barat, pada Kamis (12/9).
Minggu lalu, RK juga mengalami intimidasi saat berkunjung ke makam Mbah Priok di Jakarta Utara. Saat berbicara di podium, RK disoraki dan diledek. Bahkan ada yang menyerukan nama Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Penolakan terhadap RK juga terlihat dalam aksi vandalisme anti-RK. Di pagar Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, terlihat tulisan “Anti Ridwan Kamil”. Spanduk-spanduk dengan pesan serupa juga dipasang di berbagai lokasi di ibu kota.
Musisi Betawi kontemporer Muhammad Amrullah menyatakan bahwa penolakan terhadap RK terjadi karena berbagai faktor. Salah satunya adalah sikap RK di masa lalu yang dianggap telah merendahkan Jakarta serta klub sepak bola Persija.
“Saya secara pribadi, sebagai orang Betawi atau Jakarta dan pendukung Persija, menolak RK sebagai Gubernur Jakarta. Tidak ada tempat untuk RK di Jakarta. Dia pernah merendahkan, sekarang berusaha mendapat dukungan. Maaf ya,” ujar Muhammad Amrullah yang dikenal dengan nama Kojek Jakarta.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Asep Suryana, berpendapat bahwa penolakan terhadap RK bukanlah isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Menurutnya, isu kesukuan Betawi tidak cukup kuat untuk menggoyangkan posisi RK, sebagaimana isu SARA menghantui Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI 2017.
Asep menjelaskan bahwa isu kesukuan tidak akan digunakan sebagai alat politik karena tidak ada kandidat gubernur asli Betawi. Rano Karno yang dikenal sebagai si Doel hanyalah populer sebagai tokoh Betawi di televisi, padahal ia keturunan Minangkabau.
Lebih penting daripada isu identitas, menurut Asep, para kandidat seharusnya fokus pada menyerap aspirasi kaum miskin di kota. RK dan kawan-kawan diharapkan dapat menyajikan solusi bagi perumahan layak, pendidikan, dan lapangan kerja.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bakir Ihsan, juga setuju bahwa isu identitas Betawi tidak akan berpengaruh besar dalam Pilgub DKI. Penduduk DKI sangat beragam dan suku Betawi tidak lagi menjadi mayoritas di Jakarta.
Bakir menekankan pentingnya bagi elite politik untuk tidak terlalu menekankan isu pribumi yang dapat menyulut ketegangan di antara pendukung. Konflik berbasis SARA akan memicu polarisasi dan merugikan masyarakat.
Bakir juga menyarankan agar masyarakat DKI Jakarta tidak terjebak dalam permainan politik identitas Pilgub DKI Jakarta. Ia berharap para kandidat tidak memanfaatkan isu SARA dalam kampanye mereka.
Penting bagi para kandidat untuk mempromosikan langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan untuk Jakarta, tanpa terjebak dalam isu identitas yang sensitif dan berpotensi memecah belah masyarakat.