Jumlah calon tunggal terus berkurang dalam Pilkada Serentak 2024. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin menyatakan bahwa saat ini hanya ada 38 calon tunggal dalam pilkada, dengan 1 pasang calon tunggal di tingkat provinsi dan 37 pasang calon tunggal di tingkat kabupaten dan kota.
“Pasca pendaftaran, perpanjangan, dan penerimaan berkas, saat ini terdapat satu calon tunggal di tingkat provinsi dan 37 calon tunggal di tingkat kabupaten/kota,” kata Afif kepada wartawan di Jakarta, pada hari Senin (16/9).
Pada akhir Agustus, KPU mengidentifikasi 43 daerah potensial yang akan mengadakan pilkada dengan calon tunggal. KPU kemudian memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah untuk memberikan kesempatan bagi munculnya kandidat baru di daerah-daerah yang hanya memiliki satu calon tunggal.
Afif mengatakan bahwa jumlah calon tunggal masih bisa berubah. Penambahan pasangan calon diharapkan terjadi di Manokwari, Lampung Timur, Lahat, Tapanuli Tengah, dan Dharmasraya. “Kami akan memastikan pada tanggal 22 September saat penetapan pasangan calon,” katanya.
Jika calon tunggal tidak memiliki lawan, maka ia akan berhadapan dengan kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024. Jika calon tunggal kalah, maka pilkada akan diulang setahun kemudian pada tahun 2025. Selama itu, jabatan kepala daerah akan diemban oleh pelaksana tugas.
Sejarah pilkada serentak di Indonesia menunjukkan bahwa kotak kosong hanya pernah menang sekali melawan calon tunggal, yaitu pada Pilwalkot Makassar 2018. Pada saat itu, kotak kosong menang melawan pasangan Munafri Arifuddin dan Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu).
Pilwalkot Makassar 2018 hanya diikuti oleh satu pasang kandidat karena pasangan petahana Mohammad Ramdhan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari (DIAMI) yang memiliki elektabilitas tinggi, dihapus dari bursa calon. Mahkamah Agung memutuskan bahwa Danny, selaku petahana Wali Kota Makassar, telah menyalahgunakan wewenang dalam kampanye.
Bagaimana peluang kotak kosong untuk menang dalam Pilkada Serentak 2024? Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, mengatakan bahwa potensi kotak kosong untuk memenangkan pilkada jauh lebih besar dibandingkan pada Pilkada Serentak 2018.
“Di daerah dengan pemilih yang kritis, kotak kosong memiliki peluang untuk menang. Pemilih yang tidak puas dapat melampiaskan protes mereka dengan memilih kotak kosong. Saya perkirakan sekitar dua puluh hingga tiga puluh persen kotak kosong bisa menang asal penyelenggara pemilu dan aparat tidak melakukan kecurangan,” ujar Zaki kepada Alinea.id di Jakarta.
Zaki mengakui bahwa kehadiran kotak kosong dalam pilkada tidak seragam. Salah satu alasan utamanya adalah strategi koalisi partai yang dilakukan oleh elite politik untuk mencegah partai pesaing mengusung kandidat lawan.
“Koalisi Indonesia Maju (KIM) di beberapa daerah melakukan manuver seperti itu, sehingga partai lawan tidak dapat mengusung kandidatnya sendiri. Ini merupakan bentuk politik yang picik dan dapat merusak demokrasi. Inti dari motif ini adalah anti kompetisi,” kata Zaki.
Di daerah lainnya, kotak kosong muncul karena pasangan kandidat yang didukung terlalu dominan dalam hal elektabilitas. Di Surabaya, misalnya, semua partai politik sepakat mendukung calon petahana Eri Cahyadi karena elektabilitasnya yang tinggi.
Meskipun begitu, Zaki berpendapat bahwa partai politik seharusnya tetap menghadirkan kandidat yang menantang bagi petahana yang sulit dikalahkan. Dengan begitu, akan terjadi pertukaran gagasan dalam pilkada yang dapat dinilai oleh masyarakat setempat.
“Saat ini masyarakat hanya disuguhkan kandidat yang tidak kuat dari sisi visi dan misi. Padahal, esensi dari demokrasi multipartai adalah menghadirkan sebanyak mungkin kandidat sehingga masyarakat memiliki pilihan dan dapat memilih yang terbaik,” ujar Zaki.
Mayoritas pilkada lawan kotak kosong terjadi di daerah di mana petahana kembali maju. Selain di Surabaya, pilkada dengan calon tunggal dari kalangan petahana juga berpotensi terjadi di 32 kabupaten dan kota serta 1 provinsi.
Di Pilgub Papua Barat, misalnya, pasangan calon tunggal yang terbentuk adalah pasangan Dominggus Mandacan-Mohamad Lakotani. Dominggus adalah petahana Gubernur Papua Barat. Meskipun sempat diisukan akan bersaing di Papua Barat, Paul Waterpauw memilih untuk mundur dan ikut serta dalam Pilgub Papua.
Di tingkat kabupaten dan kota, pasangan tunggal yang mewakili petahana muncul di Kabupaten Asahan, Pakpak Barat, Serdang Bedagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara. Khusus di Jatim, calon petahana melawan kotak kosong juga akan terjadi di Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Pasuruan.
Analis politik dari Universitas Lampung, Darmawan Purba, menyatakan bahwa kotak kosong memiliki potensi untuk menang jika kandidat tunggal yang diusung oleh elite politik tidak disukai oleh masyarakat. Kandidat dengan elektabilitas tinggi sering kali tidak diusung oleh partai politik.
“Tidak dapat disangkal bahwa ada juga calon petahana yang memiliki elektabilitas yang terlalu tinggi sehingga tidak ada yang berani bersaing dan akhirnya muncul calon lawan kotak kosong,” ujar Darmawan kepada Alinea.id.
Dilihat dari situasi politik saat ini, menurut Darmawan, sebagian besar calon tunggal kemungkinan besar akan memenangkan pilkada. Namun, ia yakin bahwa jumlah kotak kosong yang menang dalam pilkada juga akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh jumlah pilkada lawan kotak kosong yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pilkada Serentak 2018 dan 2020.
“Kami melihat bahwa lebih dari 80% calon tunggal melawan kotak kosong memiliki potensi untuk menang. Artinya, bagi calon tunggal, ini merupakan ancaman serius. Namun, bagi calon tunggal yang memiliki rekam jejak dan kinerja yang baik, peluang untuk menang melawan kotak kosong jauh lebih besar,” ujar Darmawan.