Friday, October 11, 2024

Kebutuhan Akan Pemisahan Fungsi...

Pentingnya Pemisahan Fungsi Intelijen Dalam dan Luar Negeri Jakarta: Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pertahanan...

Pakar Nilai Penting Pemisahan...

Mengapa Fungsi Intelijen Domestik dan Luar Negeri Harus Dipisah? KBRN, Jakarta: Direktur Eksekutif Lembaga...

Urgensi Pemisahan Fungsi Intelijen...

Pentingnya Pemisahan Fungsi Intelijen Dalam dan Luar Negeri Penguatan dan penegasan peran BIN sebagai...

Jalan Menuju Rohul Rusak,...

Nusaperdana.com, ROKAN HULU - Calon Gubernur Nomor 1 Abdul Wahid melakukan kampanye dialogis...
HomePolitikHubungan Keluarga menjadi...

Hubungan Keluarga menjadi Sangat Penting dalam Dinasti Politik di DPR

Aroma politik dinasti ternyata tidak hanya kuat dalam kontestasi politik memilih pemimpin lembaga eksekutif saja. Hasil Pemilu 2024 menunjukkan bahwa dinasti politik juga tumbuh subur di parlemen atau lembaga legislatif, baik di pusat maupun di daerah.

Dari total 580 anggota DPR terpilih, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat bahwa sebanyak 79 orang terafiliasi dengan dinasti politik. Para calon anggota legislatif memiliki hubungan kekerabatan dengan pemegang kekuasaan, mulai dari tingkat kepala daerah hingga pejabat di tingkat pusat.

“Banyak yang suami, istri, anak, dan saudara-saudara dari politisi, penguasa daerah, elite partai. Yang paling banyak adalah anak pejabat,” kata peneliti Formappi Lucius Karus saat memaparkan hasil kajiannya di Kantor Formappi, Matraman, Jakarta Pusat, Selasa (24/9).

Berdasarkan riset Formappi, calon anggota legislatif terafiliasi politik dinasti terbanyak berasal dari daerah pemilihan di Provinsi Jawa Barat, yakni 9 calon, diikuti oleh Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara yang sama-sama meloloskan 7 calon. Daerah pemilihan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung juga memiliki 6 calon yang terafiliasi dengan elit dan pejabat di tingkat lokal.

“Seperti di Jawa Tengah, ada anak Ketua DPR Puan Maharani yang terpilih sebagai anggota legislatif,” kata Lucius.

Pada pemilu kali ini, Puan kembali lolos ke Senayan dari daerah pemilihan Jateng V. Putri Puan, Diah Pikatan Orissa Putri Hapsari atau Pinka Hapsari, juga lolos ke DPR dari daerah pemilihan Jateng IV. Selain Puan dan putrinya, ada juga Said Abdullah dan Kaisar Kiasa Kasih Said Putra yang sama-sama lolos ke DPR. Kaisar adalah putra dari Said.

Adapun calon anggota legislatif dengan relasi suami-istri seperti Mulan Jameela (Jawa Barat XI) dan Ahmad Dhani (Jawa Timur I) serta Julie S Laiskodat (Nusa Tenggara Timur/NTT I) dan Viktor B Laiskodat (NTT II). Mulan dan Dhani berafiliasi dengan Gerindra, sementara Julie dan Viktor adalah kader NasDem.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin menyebut ada hubungan saling menguntungkan antara partai politik dan kader yang memungkinkan tumbuhnya dinasti politik di parlemen. Partai politik umumnya membiarkan keluarga politik yang mapan secara finansial membangun dinasti politik mereka.

“Partai membutuhkan orang-orang yang mungkin bisa meraih kursi dengan modal finansial yang dimiliki. Keluarga yang menerapkan politik dinasti juga membutuhkan partai politik dalam pencalonan mereka,” ujar Usep kepada Alinea.id, Rabu (25/9).

Usep berpendapat karakter politik di Indonesia mirip dengan Filipina. Di negara itu, infrastruktur politik dibangun untuk memperkuat bisnis. Akibatnya, praktik politik dinasti yang muncul pun sarat dengan korupsi politik.

“Jadi, itu seperti bagian dari korupsi politik itu sendiri, politik dinasti di dalam pemerintahan. Mereka menggunakan instrumen kewenangan, anggaran, dan fasilitas negara untuk menambah kekuasaan… Ini akhirnya akan menimbulkan beban sosial,” ucap Usep.

Lebih jauh, Usep menyebut calon anggota legislatif yang memiliki relasi politik dinasti patut dicurigai merupakan bagian dari skenario korupsi politik di partai politik atau di daerah pemilihan. Calon anggota legislatif dari dinasti politik didesain untuk berkantor di DPR agar perilaku korup anggota DPR nantinya mendapat perlindungan.

“Jika tidak ada perbaikan yang sistemik, yang signifikan, maka demokrasi bisa semakin hancur bahkan terbunuh oleh politik yang berseberangan dengan demokrasi. Kasus-kasus korupsi banyak yang kemudian wujudnya adalah politik dinasti, baik itu di partai politik, parlemen, maupun di eksekutif,” ucap Usep.

Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Kholidul Adib merinci sejumlah faktor yang menyebabkan dinasti politik bisa tumbuh di parlemen. Pertama, tidak ada aturan yang melarang keluarga atau kerabat pejabat dan anggota DPR untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Kedua, mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk lolos ke DPR. Hal ini menyebabkan tidak banyak kandidat yang berani mencalonkan diri sebagai anggota DPR. Apalagi, mereka tidak memiliki jaringan sosial yang kuat di daerah.

“Caleg yang berasal dari keluarga politisi umumnya mempunyai pengaruh kuat dibanding masyarakat setempat. Selain itu, caleg dari kalangan keluarga pengusaha yang kaya raya terlihat lebih diunggulkan. Dalam sistem pemilu yang proposal terbuka ini, kebutuhan jaringan keluarga dan ketokohan yang disupport logistik yang memadai menjadi penting,” ucap Kholidul kepada Alinea.id, Selasa (25/9).

Jaringan keluarga politik di daerah yang sudah berakar kuat di daerah pemilihan memudahkan calon anggota legislatif dari politik dinasti menggaet pemilih. Mereka relatif tidak memiliki kompetitor karena kaderisasi yang dilakukan partai politik juga tersendat. “Dari sisi pendanaan pun, partai politik juga bermasalah,” imbuh Kholidul.

Politik dinasti, kata Kholidul, menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia belum matang. Secara genetik, Indonesia seolah mewarisi tradisi masa lalu sebagai negara dengan sistem kerajaan. Parahnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku kepala negara seolah menormalisasi politik dinasti.

“Contohnya oleh Presiden Jokowi sendiri ketika mendorong anaknya (Gibran Rakabuming Raka) sebagai wakil presiden. Secara substansial, kita masih mempertahankan politik dinasti yang umumnya lazim diterapkan dalam sistem negara monarki. Akibatnya, pemilu pun hanya sebatas sebagai demokrasi prosedural, sementara isinya sudah mengarah pada nalar monarki,” jelas Kholidul.

Bagi masyarakat umum, menurut Kholidul, dinasti politik di parlemen jelas potensial merugikan. Dengan kekuatan kekerabatan, anggota DPR terpilih bisa saja hanya mengejar kepentingan keluarga politik mereka dan mengesampingkan aspirasi publik dalam menyusun regulasi dan menjalankan tugas mereka sebagai wakil rakyat.

“Jika parlemen banyak diisi anggota yang berbasis dinasti politik keluarganya yang berkuasa dan bukan karena berbasis kematangan sebagai wakil rakyat dalam menyerap aspirasi masyarakat, maka negeri ini bisa mengalami kemunduran,” ujar Kholidul.

Source link

Semua Berita

Kedok Keburukan dalam Dinasti Politik di DPR

Dalam laporan terbaru, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa ada 174 atau 30% dari 580 anggota DPR periode 2024-2029 yang diduga terlibat dalam dinasti politik - usaha untuk mempertahankan atau mengakumulasi kekuasaan di posisi publik bagi keluarga-keluarga tertentu. Mayoritas dari...

Hasrat sulit Bahlil untuk memperbesar Golkar di Jawa Tengah

Ketika menghadiri Rapat Konsolidasi Pemenangan Pemilihan Gubernur Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Provinsi Jawa Tengah di Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (5/10), Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengungkapkan keinginannya untuk membuat Jawa Tengah menjadi basis dukungan kuat bagi partai...

Transportasi air di Jakarta hanya sekadar gimik menurut Ridwan Kamil?

Dalam debat perdana Pilgub DKI Jakarta 2024 di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat pada Minggu (6/10) malam, calon gubernur Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil memaparkan programnya mengatasi kemacetan. Dia akan memfasilitasi pergerakan mass rapid transit (MRT),...

Kategori Berita