Home Politik Ketika MPR Menghapus Dosa-dosa Sukarno dan Rekan-rekannya

Ketika MPR Menghapus Dosa-dosa Sukarno dan Rekan-rekannya

Beberapa Ketetapan (TAP) MPR yang memuat “dosa-dosa” para presiden terdahulu dihapus oleh MPR pada periode Agustus-September 2024. Berawal dari TAP MPR terkait Soekarno, MPR juga mencabut ketetapan terkait Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Soeharto.

Pada 24 Agustus 2024, MPR mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno. Dalam TAP MPRS tersebut, Soekarno disebut mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara tidak langsung menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melindungi tokoh-tokoh PKI.

Dengan pencabutan TAP MPR tersebut, Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan bahwa tuduhan terhadap Soekarno tidak terbukti. Ia mengatakan tuduhan terhadap Soekarno yang tidak pernah disidangkan bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara hukum.

Sebulan kemudian, MPR mencabut TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid.

Dari rangkaian pencabutan TAP MPR tersebut, sejarawan Anhar Gonggong menilai hanya pencabutan TAP MPR terkait Soeharto yang problematik. Terkait Soekarno, Anhar menyebut MPR saat ini seharusnya tidak berwenang mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.

Ketika TAP MPRS itu diberlakukan, menurut Anhar, MPRS berstatus sebagai lembaga tertinggi negara. Setelah era Reformasi, MPR kini turun kelas menjadi lembaga tinggi negara, sejajar dengan DPR, DPD, dan lembaga tinggi negara lainnya.

Di sisi lain, pencabutan MPRS itu juga dianggap tidak penting. Sebab, Soekarno dan Mohammad Hatta sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebelum TAP MPRS itu dikeluarkan, Soekarno disebut pro-PKI dan turut mendukung G30S/PKI. Anhar menilai Soekarno pada saat itu sebenarnya dimanfaatkan oleh PKI dengan jargon nasionalisme, komunisme, dan agama (Nasakom).

Demikian pula dengan pencabutan TAP MPR terkait Gus Dur. Menurut Anhar, pencabutan TAP MPR tersebut tidak penting karena tidak ada “dosa” Gus Dur. TAP tersebut dibuat MPR karena Gus Dur tidak mau hadir dalam sidang istimewa MPR untuk memberikan laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden.

Pada masa itu, Gus Dur berselisih dengan MPR karena berniat membubarkan DPR dan MPR. “Tidak ada gunanya. Mengapa harus dihapus? Gus Dur (karena) orang-orang saat itu bertengkar agar dia jatuh,” katanya.

Situasinya berbeda dalam pencabutan TAP MPR terkait Soeharto. Pada pasal 4 TAP MPR tersebut tertulis bahwa “upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia”.

Menurut Anhar, narasi ‘kroni’ dan ‘keluarga’ di dalam TAP MPR tersebut menunjukkan bahwa kasus-kasus korupsi terkait Soeharto melibatkan banyak pihak. Penghapusan TAP MPR tersebut dianggap memiliki nuansa kepentingan politik.

“Artinya bukan hanya Soeharto kan? Ya, tentu saja Soeharto banyak dosanya. Selama 32 tahun berkuasa, berapa banyak yang dibunuh? Termasuk calon presiden yang akan menjadi presiden sekarang (Prabowo) kan pelakunya,” jelas Anhar.

Direktur Kajian Politik Nasional, Adib Miftahul mencium ada upaya rekonsiliasi politik dalam pencabutan ketiga TAP MPR tersebut. Menurut Adib, setidaknya ada tiga kelompok yang diuntungkan karena pencabutan TAP MPR tersebut.

Terkait Gus Dur, misalnya, kelompok yang diuntungkan adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan para santri. Sedangkan terkait Soeharto, Prabowo yang memiliki hubungan khusus dengan Soeharto ikut “mendapatkan kembali” citranya.

Sebagai pemimpin partai yang berhaluan politik Sukarno, PDI-P juga diuntungkan dengan pencabutan TAP MPRS terkait Sukarno. PDI-P dan PKB saat ini dikabarkan akan bergabung dengan Prabowo untuk memperkuat koalisi partai pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Saya melihat ini sebagai rekonsiliasi politik agar tidak ada beban sejarah. Jadi, jika terjadi perubahan peta politik, tidak menjadi masalah,” ucap Adib kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (27/9).

Secara substansial, menurut Adib, tidak ada urgensi bagi MPR untuk mencabut ketiga TAP tersebut. Ia menduga MPR “digerakkan” oleh pernyataan Prabowo yang mengatakan tidak boleh menjelekkan presiden-presiden sebelumnya.

“Prabowo hanya ingin stabilitas politik yang tenang. Sekaligus, ia juga mengatakan bangsa yang besar adalah yang menghargai pahlawannya, jasa-jasa presiden sebelumnya. Dia tidak ingin ada beban sejarah, beban politik,” kata Adib.

Source link

Exit mobile version