Sebentar sebelum resmi dilantik menjadi Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Permasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia mengatakan peristiwa kerusuhan yang menewaskan sejumlah aktivis dan warga sipil pada Mei 1998 bukan pelanggaran HAM berat.
“Tidak. Pelanggaran HAM berat itu seperti genosida, ethnic cleansing, mungkin terjadi justru pada masa kolonial, pada waktu awal kemerdekaan,” kata Yusril kepada wartawan yang berkumpul di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (21/10).
Keesokan harinya, Yusril segera merevisi pernyataannya. Ia alasan salah mendengar pertanyaan wartawan. “Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Apakah terkait masalah genocide atau ethnic cleansing,” kata Yusril.
Pada tahun 2023, peristiwa Mei 1998 telah ditetapkan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM). Presiden Joko Widodo juga telah menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM berat dalam rangkaian tragedi kerusuhan menjelang kejatuhan Soeharto.
Yusril menegaskan pemerintahan Prabowo akan mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah-pemerintah terdahulu terkait peristiwa 98. “Percayalah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah HAM itu sendiri,” tambahnya.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rakhmat Hidayat pesimistis bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk tragedi 1998. Ia merujuk kepada pidato pertama Prabowo di Gedung MPR yang sama sekali tidak menyentuh soal HAM.
“Isu pelanggaran HAM yang tidak mungkin dia ungkapkan dalam pidatonya. Ketika dia membicarakan pelanggaran HAM, maka dia sebenarnya sedang berbicara tentang dirinya sendiri. Saya memberi catatan bahwa tidak ada satu kata pun dalam kalimat yang membahas bagaimana konsen dan komitmen pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM,” ucap Rakhmat kepada Alinea.id.
Rakhmat menduga gerakan masyarakat sipil akan mengalami tekanan berat pada era pemerintahan Prabowo. Upaya-upaya untuk mempertanyakan rekam jejak Prabowo sebagai tersangka pelanggar HAM pada era Reformasi akan sulit karena sejumlah aktivis reformasi telah direkrut sebagai pembantu Prabowo di Kabinet Merah Putih.
“Strategi ini untuk membentuk narasi baru dalam kepemimpinan Prabowo yang dianggap pro demokrasi, yang dianggap mendorong demokrasi. Padahal, itu adalah bagian politik yang ilusionis untuk menutupi kekurangan dari cacat-cacat demokrasi yang dilakukan oleh Prabowo-Gibran di awal,” kata Rakhmat.
Cacat yang dimaksud Rakhmat adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang merevisi batas usia calon presiden dan wakil presiden. Keputusan tersebut membuka jalan bagi Gibran untuk maju sebagai pendamping Prabowo di Pilpres 2024. “Itu adalah titik awal rezim melakukan berbagai cara untuk melegitimasi kekuasaannya,” tambahnya.
Rakhmat mengatakan bahwa kalangan akademisi dan intelektual tidak boleh mengabaikan kemungkinan lahirnya otoritarianisme pada era pemerintahan Prabowo-Gibran. Akademisi kampus dan intelektual publik harus terlibat langsung membangun konsolidasi di akar rumput untuk memperkuat partisipasi publik.
“Kedepan, demokrasi akan menghadapi masa depan suram karena demokrasi terancam dan mengalami kemunduran. Saya melihat wajah sebenarnya dari Prabowo dengan semangat yang penuh semangat dengan sesuatu (program-program) yang bersifat utopia. Itu sebenarnya mencerminkan wajah sebenarnya dari sosok otoritarian yang dimiliki oleh Prabowo,” ucap Rakhmat.
Selain itu, Rakhmat juga memperkirakan bahwa pemerintahan dengan gaya militeristik yang menuntut ketertiban sipil akan mendominasi era Prabowo-Gibran. Terlebih lagi, Prabowo telah mengakomodir sejumlah mantan TNI/Polri dalam kabinet Merah Putih.
“Tentu saja suara-suara dari akar rumput seperti gerakan mahasiswa, akademisi, pers kampus, dan kalangan intelektual tidak boleh terdiam. Mereka harus bisa berkontribusi dengan berbagai cara. Prabowo tidak boleh dibiarkan. Prabowo harus diawasi meskipun secara politik mereka hegemonik,” ucap Rakhmat.
Pakar hukum dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, Al Wisnubroto menyarankan sejumlah langkah untuk mencegah gejala otoritarianisme menguat di pemerintahan Prabowo. Pertama, perlu diperkuat partisipasi publik dalam mengawasi rezim Prabowo. Kedua, konsolidasi gerakan-gerakan masyarakat sipil. Ketiga, peningkatan kapasitas organisasi gerakan sipil.
“Keempat, organisasi masyarakat sipil harus mampu berkolaborasi dengan institusi lain dalam meningkatkan efektivitas program. Kelima, diperlukan kemampuan dan keberanian organisasi masyarakat sipil untuk melakukan advokasi perubahan kebijakan yang lebih demokratis,” kata Wisnubroto kepada Alinea.id.
Wisnubroto mengatakan bahwa tokoh-tokoh gerakan masyarakat sipil harus memiliki ketahanan agar tidak mudah dimasukkan ke dalam lingkaran kekuasaan. Oleh karena itu, penting bagi gerakan masyarakat sipil untuk memahami politik dan membangun jaringan pro-demokrasi.
“Juga memiliki kemampuan dalam advokasi publik. Hal ini penting untuk menjaga pemerintahan yang demokratis, organisasi masyarakat sipil harus terus meningkatkan peranannya dalam advokasi, pemberdayaan, dan kontrol sosial,” kata Wisnubroto.