Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor sebagai tersangka kasus suap sejumlah proyek pembangunan di Kalsel. Selain Sahbirin, setidaknya tujuh orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka usai operasi tangkap tangan digelar KPK, pekan lalu.
Ini kesekian kali kepala daerah asal Kalsel jadi tersangka kasus korupsi. Menurut catatan KPK, setidaknya sudah ada enam kepala daerah di Kalsel ditetapkan sebagai tersangka dalam berbagai kasus korupsi. Selain Sahbirin, eks Gubernur Kalsel Sjachriel Darham juga terjerat kasus serupa.
Di tingkat kabupaten, para tersangka koruptor yang sudah dijerat KPK ialah Bupati Tanah Laut periode 2003-2013 Adriansyah, Bupati Hulu Sungai Tengah periode 2016-2021 Abdul Latif, Bupati Hulu Sungai Utara periode 2012-2021 Abdul Wahid, dan Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2018 Mardani H Maming.
Selain itu, Kejaksaan Agung juga pernah menetapkan Gubernur Kalsel periode 2005-2015 Rudy Ariffin sebagai tersangka kasus korupsi pembebasan tanah untuk pabrik kertas Martapura. Artinya, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, setidaknya ada tiga gubernur dan empat bupati dari Kalsel yang pernah tersandung kasus korupsi.
Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini merinci sejumlah faktor penyebab maraknya kepala daerah di Kalsel yang digulung KPK. Faktor yang paling umum ialah lemahnya integritas para kepala daerah sehingga tergiur menyalahgunakan wewenang mereka.
“Biasanya yang jadi lahan subur adalah sektor izin yang sesuai dengan karakteristik dominan wilayahnya. Kalau kayak sumber daya alam, biasa korupnya, ya, izin sumber daya alam atau bisa juga pengadaan barang dan jasa,” kata Orin kepada Alinea.id, Selasa (22/10).
Kepala daerah yang korup, kata Orin, bisa leluasa menyalahgunakan wewenang lantaran minimnya pengawasan di daerah. Transparansi dan akuntabilitas juga lemah sehingga para kepala daerah sembarangan menggunakan wewenangnya.
Faktor lainnya yang merupakan penyumbang keberlangsungan pola korupsi adalah biaya politik yang tinggi. Para kepala daerah mencari-cari celah untuk korupsi demi mengembalikan modal kampanye. Potensi korupsi kian besar lantaran Kalsel adalah “lahan basah” yang minim pengawasan.
“Ditambah juga, penegakan hukum untuk koruptor yang tidak kunjung efektif dan memberikan efek jera. Masyarakat lantas mengalami krisis kepercayaan terhadap penegakan hukum sehingga pada akhirnya menerima atau menganggap korupsi sebagai hal yang biasa,” jelasnya.
Selama demokrasi berbiaya tinggi masih dipertahankan, menurut Orin, kasus-kasus kepala daerah kena OTT KPK akan terus berulang. Apalagi, para kepala daerah yang berstatus petahana kerap menghalalkan segala cara demi terus berkuasa.
“Itu seperti lingkaran setan, orang yang dipilih dan terpilih melalui proses elektoral yang tidak sehat, ujung-ujungnya akan korup,” ucap Orin.
Ketua Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) Indonesia Gabriel Goa sepakat para kepala daerah di Kalsel terjerat kasus korupsi demi mengembalikan modal kampanye yang besar. Motif itu “bertemu” dengan tradisi suap-menyuap yang kian lazim di Kalsel, terutama dalam perizinan tambang.
“Di situ kan daerah pertambangan besar. Tetapi, kenapa tidak menyasar juga pejabat pusat? Kenapa hanya menyasar (pejabat) daerah saja? Di daerah istilahnya hanya dapat uang receh,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (23/10).
Menurut Gabriel, tak mungkin praktik suap-menyuap di daerah bisa langgeng jika tanpa restu dari pejabat pusat. Ia pun berharap penegak hukum mengembangkan kasus-kasus korupsi yang menjerat kepala daerah di Kalsel hingga ke pusat.
“Ikan besar itu dibiarkan korupsi berjamaah ini yang membuat penegakan korupsi tidak pernah sampai aktor intelektualnya,” cetus Gabriel.