Sebuah analisis berbasis kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) telah mengungkapkan bahwa pengaruh Denny JA dalam dunia sastra Indonesia sebanding dengan Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono. Meskipun demikian, ketiganya meninggalkan jejak yang berbeda dalam sejarah sastra Indonesia.
Dalam analisis tersebut, empat aplikasi AI yaitu ChatGPT 4.0, Gemini 2.0, Perplexity, dan DeepSeek terlibat untuk membandingkan pengaruh ketiganya dalam sastra Indonesia. Chairil Anwar dianggap sebagai ikon revolusi sastra, Sapardi Djoko Damono sebagai penjaga keindahan, dan Denny JA sebagai arsitek dan pembangun ekosistem sastra.
Puisi-puisi Chairil Anwar, seperti Aku, dianggap sebagai manifestasi keberanian dalam menantang nasib dan kemapanan. Sementara itu, Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai penyair yang merayakan kesederhanaan dan kedalaman emosi. Puisi-puisinya, seperti Hujan Bulan Juni, telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif bangsa.
Denny JA dipandang oleh AI sebagai tokoh yang mengubah sastra menjadi gerakan yang berkelanjutan. Kontribusinya terbagi dalam tiga aspek utama: melahirkan genre baru yaitu Puisi Esai, membangun komunitas sastra, dan menyediakan dana abadi bagi penghargaan sastra. Menurut AI, Denny JA menciptakan infrastruktur sastra yang berkelanjutan.
Dengan kesimpulan ini, AI memberikan perspektif baru dalam melihat sejarah sastra Indonesia. Jika Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono adalah seniman besar, maka Denny JA adalah arsitek sastra yang memastikan keberlangsungan seni itu di masa depan.