Di sisi lain, tim pemenangan Ganjar-Mahfud dipastikan tidak akan tinggal diam suara mereka direbut Prabowo-Gibran atau Anies-Muhaimin. Alasannya, Jawa Tengah merupakan benteng yang harus dijaga untuk memperkecil kekalahan, baik dalam pertarungan legislatif maupun pilpres.
“Kekuatan Ganjar-Mahfud di Jawa Tengah sedikit banyak menjadi barometer pada kekuatan pasangan ini di wilayah lainnya,” ucap Ardha.
Menurut Ardha, mesin politik PDI-P di Jawa Tengah perlu merapatkan barisan dan soliditas. Pasalnya, bukan perkara mudah melawan Prabowo-Gibran yang didukung banyak kekuatan, dengan dukungan basis pemilih Jokowi.
“Konsolidasi internal PDI-P mutlak harus dilakukan untuk menjaga basis wilayah ini,” katanya.
Sebagai informasi, merujuk pada hasil survei Poltracking Indonesia yang dilakukan pada 29 November-5 Desember 2023, elektabilitas Prabowo-Gibran di Jawa Tengah masih kalah dari Ganjar-Mahfud. Rinciannya, elektabilitas Prabowo-Gibran sebesar 30,3%, Ganjar-Mahfud 54,5%, dan Anies-Muhaimin 8,5%.
Senada, analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak melihat, wilayah Jawa Tengah akan dipertahankan dengan gigih oleh PDI-P. Pasalnya, PDI-P bisa kehilangan martabat jika gagal memenangkan Ganjar-Mahfud di provinsi berpenduduk 34,55 juta, dengan jumlah pemilih sebanyak 28.289.413 itu.
“Suara (di) Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, PDI-P tampaknya sudah angkat tangan,” kata Zaki, Selasa (26/12).
“PDI-P akan all out untuk mempertahankan martabatnya dalam memenangi suara pilpres di Jawa Tengah.”
Zaki melihat, dalam beberapa survei independen, elektabilitas Prabowo-Gibran juga terus naik di Jawa Tengah. Berbeda tipis dengan suara Ganjar-Mahfud, yang trennya justru menurun.
“Kekalahan di Jawa Tengah akan menjadi lampu merah bagi kepemimpinan trah Sukarno di PDI-P,” kata Zaki.
Zaki memandang, sejak pasangan Prabowo-Gibran terbentuk, skenario kemenangan besar di Jawa Tengah telah dimainkan. Setidaknya, hal itu dapat terlihat dari tindakan Presiden Jokowi yang melakukan penetrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara berkala. Menurut Zaki, Jokowi terlihat lebih agresif mengunjungi ulama dan membagikan bantuan sosial di dua wilayah tersebut.
“Jokowi terus bergerak menggarap suara Jawa Timur dan Jawa Tengah,” ujarnya.
“Dalam kunjungan ke Banyuwangi dan Sidoarjo beberapa hari lalu, Jokowi mendatangi hingga delapan titik dalam satu hari. Dari menemui rakyat saat pembagian bantuan sosial hingga bertemu kiai-kiai. Biasanya hanya tiga atau empat titik saja.”
Sementara pergerakan PDI-P di Jawa Timur dan Jawa Tengah mulai melemah dalam memenangkan Ganjar-Mahfud. Paling tidak hal itu terlihat dari kurang optimalnya mobilisasi relawan. Bahkan, pada tingkat elit PDI-P, tidak banyak yang aktif bergerak ke bawah untuk menggalang kekuatan, sehingga kader akar rumput pun “lesu” dalam memenangkan Ganjar-Mahfud.
“Dalam kondisi kritis, tren elektabilitas Ganjar-Mahfud dan suara PDI-P sendiri terus menurun secara nasional. Sikap kepemimpinan ‘kurang gairah’ itu sangat mengecewakan kader,” kata Zaki.
Ia mengatakan, mesin PDI-P yang lesu terkait erat dengan “prahara” internal, dengan mulai banyaknya politikus progresif yang kurang dihargai karena kalah dalam politik kekerabatan di PDI-P yang berdampak pada kontestasi pileg yang kurang adil. Akibatnya, banyak kader militan yang setengah hati dalam memenangkan Ganjar-Mahfud.
Ia mencermati, ada banyak nama calon legislatif yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit PDI-P di daerah pemilihan Jawa Tengah. Namun, calon potensial dipaksa melepaskan posisi mereka.
“Misalnya, daftar calon legislatif nasional (DPR) untuk menjadi urutan satu, di beberapa daerah pemilihan, sarat dengan nuansa nepotisme,” tuturnya.
“Ada Herviano Widyatama, anak Pak BG (Budi Gunawan). Ada Puan (Maharani), lalu Pinka Haprani (anak Puan), Wiryanti Sumadani (anak pemilik Sahid Jaya Hotel, Sukamdani Sahid Gito Sarjono). Di Daerah Pemilihan IV Jateng (ada) anak Puan, Pinka di urutan pertama. Sementara Bambang Pacul digeser di urutan ketiga.”
Fenomena nepotisme yang tidak sehat di internal partai juga sangat berpengaruh terhadap soliditas mesin politik di Jawa Tengah. Akhirnya, banyak kader enggan melibatkan tenaga dan materi untuk memenangkan Ganjar-Mahfud. Bagi Zaki, elit PDI-P harus segera memulihkan soliditas yang rapuh agar partai tidak semakin terpuruk dan kehilangan suara.
“Untuk saat ini, PDI-P sulit memenangkan suara Jawa Tengah, seperti lima tahun lalu. PDI-P perlu reformasi dan modernisasi partai untuk bisa bertahan ke depannya,” ucap Zaki.