Peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi menyoroti kebutuhan akan peningkatan dana operasional bagi partai politik dari negara. Menurutnya, dana operasional yang saat ini terbatas menyebabkan banyak partai politik bergantung pada oligarki dan hanya fokus pada rapat koordinasi menjelang pemilu.
“Dampak negatifnya, partai menjadi enggan untuk melakukan edukasi, penguatan kelembagaan, kaderisasi perempuan, dan memperkuat kapasitas partai politik,” kata Nurul kepada Alinea.id pada Jumat (8/3).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, hanya partai politik yang memiliki kursi di DPR yang berhak menerima bantuan keuangan dari negara. Besar bantuan tersebut sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh partai politik dalam pemilu, yaitu Rp1.000 per suara sah.
Nurul menyarankan agar bantuan dari negara tidak hanya berbentuk uang tunai. Negara juga bisa memberikan fasilitas berupa gedung tanpa biaya listrik, air, dan internet kepada partai politik. Dengan demikian, partai politik dapat mengurangi biaya operasional harian mereka.
“Skema lain yang dapat diberikan adalah pemberian upah bulanan kepada pengurus inti partai politik dari negara. Jika bantuan dana dari negara ditingkatkan dalam bentuk uang segar, maka perlu dilakukan rekalkulasi terhadap bantuan operasional dan pendidikan politik,” ujar Nurul.
Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati juga setuju bahwa partai politik oposisi perlu diberikan insentif tambahan agar tidak mudah terpengaruh oleh tekanan penguasa. Menurutnya, kondisi saat ini sangat sulit bagi partai oposisi untuk bertahan.
“Saya sepakat dengan pendapat Burhanudin Muhtadi,” kata Neni. Menurutnya, penambahan dana bagi partai oposisi harus disertai dengan kewajiban untuk melaporkan dana yang diterima secara transparan.
Tetapi, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati memiliki pandangan berbeda. Bagi Wasisto, keberanian untuk menjadi oposisi tidak tergantung pada kekayaan partai.
“Saya pikir menjadi oposisi lebih berkaitan dengan idealisme yang harus dipertahankan dan diperjuangkan, tanpa memperdulikan risiko yang dihadapi,” ujar Wasisto. Meskipun demikian, ia setuju bahwa penambahan dana dapat membantu partai politik dalam menjalankan organisasi dan pendidikan kader.
“Yang terpenting, adalah pembangunan karakter dan komitmen berpolitik saat mengambil sikap sebagai oposisi,” tambahnya.