Pemerintah telah mulai menanam bibit pohon di lahan-lahan kritis di Ibukota Negara (IKN). Menurut catatan Badan Otoritas IKN, ada sekitar 126.000 hektar area di IKN yang dikategorikan sebagai kritis, dengan luas yang hampir sama dengan Jakarta.
Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otoritas IKN, Myrna A Safitri, menyatakan bahwa pemerintah memiliki target untuk memulihkan sebanyak 65% lahan kritis pada tahun 2045. Saat ini, penanaman pohon telah dilakukan di sekitar 3.000 hektar lahan kritis di IKN.
Untuk proses reklamasi dan reboisasi, pemerintah juga akan bekerja sama dengan perusahaan pertambangan. Badan Otoritas IKN mencatat bahwa masih ada 61 izin usaha pertambangan yang beroperasi di wilayah IKN.
Perusahaan pertambangan yang masih memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berlaku diizinkan untuk tetap beroperasi hingga masa berakhirnya izin tersebut. Namun, tidak ada lagi perusahaan tambang baru yang diizinkan untuk membuka area tambang di IKN.
Menurut Ketua Divisi Advokasi dan Riset Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Windy Pranata, upaya pemerintah dalam merehabilitasi area kritis di IKN terkesan aneh. Menurutnya, sebagian besar lahan kritis di IKN disebabkan oleh aktivitas pertambangan.
Windy berpendapat bahwa pemerintah seharusnya menuntut pertanggungjawaban dari perusahaan-perusahaan yang meninggalkan lubang tambang di wilayah IKN. Biaya reklamasi lahan kritis sendiri tidaklah murah, mencapai sekitar Rp175 juta untuk mereklamasi satu lubang tambang.
Windy juga mengkritik rencana Badan Otoritas IKN untuk merilis pedoman baru terkait reklamasi di IKN bagi perusahaan tambang. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 sudah mengatur mengenai reklamasi.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, juga menyatakan bahwa terdapat nuansa bahwa pemerintah ingin memaafkan dosa perusahaan tambang. Padahal, pemulihan lahan kritis yang rusak akibat aktivitas tambang merupakan tanggung jawab dari perusahaan itu sendiri.