Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menambahkan, secara administratif PDIP, Nasdem, dan PKB itu, masih bagian koalisi pemerintah. “Itu koalisi administratif. Tetapi secara faktual tidak. Makanya, mereka mendorong hak angket,” tegas dia.
Menurut Ray, PDIP, Nasdem, dan PKB sudah merasa bukan bagian pemerintah. Lantas bagaimana dengan nasib para menteri partai-partai tersebut di kabinet Pemerintahan Jokowi? “Itu terserah Presiden Jokowi. Kalau mau presiden bisa melakukan reshuffle mereka. Kenapa bukan partai yang menarik menterinya? Itu sama saja seperti Jokowi tidak mengembalikan KTA ke PDIP. Padahal, tak mendukung pasangan dari PDIP. Politik di Indonesia, ya begitu,” ucap dia.
Di mana-mana di dunia, lanjut Ray, pihak yang kalah yang menuntut keadilan. Sehingga di Indonesia, dibentuklah Bawaslu dan MK. “Lucunya yang membentuk pengadilan itu pihak yang menang, karena itulah perlunya didorong hak angket,” tegasnya.
Adapun pertemuan Jokowi-Surya Paloh pada 18 Februari, dapat dinilai sebagai langkah untuk memadamkan ide Hak Angket di DPR. Sebab, jika Surya Paloh tidak mendukung, maka kekuatan pendukung hak angket dari partai-partai pendukung calon presiden (capres) 01 dan 03 akan kehilangan momentum. Ini berisiko membuat gerakan di DPR menjadi prematur.
Ray menilai, langkah tersebut perlu dicegah. Atas dasar itu, ia menyarankan agar segera diadakan pertemuan antara pimpinan partai-partai Koalisi 01 dan 03 untuk membicarakan hak angket Pemilu 2024.
“Sebab, ide tersebut sudah mulai dibahas pimpinan Koalisi 01. Tampaknya PDIP masih melakukan konsolidasi pasca pilpres, sambil menunggu pengumuman hasil final perhitungan suara oleh KPU,” ungkap dia.
Oleh sebab itu, lanjut Ray, pimpinan partai Koalisi 01 perlu segera mengajak PDIP dan PPP dari Koalisi 02 untuk menggulirkan ide hak angket secara bersama. Agar proses pelaksanaan pileg dan pilpres bersih dari pelanggaran konstitusi dan etika, dua hal yang merupakan agenda utama era reformasi.