Peluang Anies Baswedan untuk berlaga dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta semakin berkurang. Partai NasDem, salah satu partai politik pendukung Anies, kini telah menarik dukungannya. Langkah serupa diambil oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
PKS resmi bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju (KIM) setelah diberi jatah calon wakil gubernur. Kader PKS akan mendampingi Ridwan Kamil (RK) dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. KIM berencana merancang RK sebagai calon tunggal dalam Pemilihan Gubernur DKI.
Jika Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga bergabung dengan KIM, praktis hanya PDI-Perjuangan yang tertarik untuk mendukung Anies. Namun, PDI-P hanya memiliki 15 kursi di DPRD DKI Jakarta, sedangkan syarat untuk mengusung kandidat adalah 23 kursi DPRD.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin memprediksi bahwa Anies mungkin akan kehilangan kesempatan untuk maju dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Menurut Ujang, PKB lebih tertarik untuk bergabung dengan KIM daripada berkoalisi dengan PDI-P untuk mendukung Anies.
“Jadi, menurut saya Anies tidak akan bisa maju. Apalagi, PKB lebih nyaman dengan KIM Plus. Yang mendukung (Anies) adalah DPW PKB Jakarta, bukan DPP,” kata Ujang kepada Alinea.id, Minggu (18/6).
Menurut Ujang, KIM berusaha untuk membawa semua partai politik demi memastikan kemenangan RK di Jakarta. RK akan kesulitan memenangkan jika bersaing dengan Anies. Hampir semua lembaga survei menunjukkan bahwa Anies memiliki elektabilitas yang dominan dalam Pemilihan Gubernur DKI.
“Ya, Anies harus dihilangkan agar RK dapat menang dengan mudah dan nyaman. Jadi, skema KIM Plus ini nyata dan terwujud. Agar Anies tidak bisa maju, semua partai harus dikalahkan. RK akan menang jika hanya berhadapan dengan Dharma-Kun,” ujarnya.
KPU telah menerima pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana sebagai kandidat dari jalur perseorangan dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun, pencalonan Dharma-Kun dipertanyakan karena isu pencatutan KTP sebagai dukungan bagi kandidat independen.
Jika tidak memegang jabatan publik, Ujang menyarankan agar Anies bekerja keras untuk menjaga elektabilitasnya sebagai tokoh nasional. Terutama jika Anies berencana untuk kembali maju dalam Pemilihan Presiden 2029. “Anies bisa bergabung dengan partai politik, menjadi pengurus di organisasi masyarakat, atau bahkan kembali ke dunia akademisi,” katanya.
Direktur Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul melihat fenomena pengambilalihan partai politik dalam Pemilihan Gubernur DKI dari sudut pandang yang lebih luas. Menurutnya, desain calon tunggal di DKI adalah bagian dari operasi politik KIM dan Jokowi untuk mengendalikan provinsi-provinsi strategis di Jawa dan Sumatera.
Mundurnya Airlangga dari posisi Ketum Golkar, menurut Adib, juga terkait dengan operasi tersebut. Airlangga dianggap membandel karena awalnya menolak menurunkan RK dalam Pemilihan Gubernur DKI serta setuju dengan koalisi antara Golkar dan PDI-P di berbagai daerah.
“Oleh karena itu, saya tidak kaget dengan posisi Anies karena tiket pencalonan dari partai ini adalah yang mengunci elit. Oleh karena itu, ketika Golkar membandel, dicurigai oleh KIM… karena mengancam KIM itu sendiri,” kata Adib kepada Alinea.id, Minggu (18/8).
Tanpa memiliki jabatan publik, Adib menganggap bahwa karier politik Anies berisiko mengalami kemunduran. Terutama karena Anies bukan merupakan kader dari salah satu partai politik dan bukan pula dari kalangan pengusaha.
“Anies harus bergabung dalam sebuah partai politik sebagai kader agar elektabilitasnya tetap terjaga. Bahkan, Anies harus mencari momentum untuk merawat elektabilitasnya,” jelas Adib.