Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata kembali mengeluhkan kegagalan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tanpa malu-malu, Alexander menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut bertanggung jawab dalam melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
“Kunci keberhasilan pemberantasan korupsi terletak pada presiden. Diperlukan political will. Tidak ada gunanya berharap terlalu tinggi kepada KPK jika tidak ada political will,” ujar Alex, panggilan akrab Alexander, dalam diskusi “Evaluasi Kinerja KPK 2019-2024” di Jakarta Selatan pada Jumat (6/9).
Alex memberikan nilai 6,5 dari 10 untuk kinerja KPK periode 2019-2024. Sedangkan untuk periode 2015-2019, Alex memberikan angka 8. Menurut Alex, kinerja KPK menurun karena lemahnya independensi KPK setelah revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.
“Terutama terkait dengan independensi dan perekrutan pegawai. Sebelum revisi UU KPK, kami bebas merekrut pegawai termasuk pejabat. Namun sekarang, harus melalui mekanisme rekrutmen ASN,” ujar Alex.
Dalam rapat di DPR bulan Juli lalu, Alex juga mengakui bahwa KPK gagal dalam menangani korupsi. Hal ini dilihat dari stagnasi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International.
“Di tahun 2015 ketika saya pertama kali bergabung dengan KPK, IPK berada di angka 34. Kemudian naik hingga 40. Namun sekarang kembali ke angka 34 pada tahun 2024,” ucapnya.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan bahwa stagnasi IPK menunjukkan kegagalan dalam pemberantasan korupsi era Jokowi. Ia setuju bahwa revisi UU KPK turut melemahkan kinerja KPK dalam menangani korupsi.
Revisi UU KPK disahkan pada September 2019, dengan Presiden Jokowi disebut-sebut terlibat dalam substansi revisi tersebut. Salah satu poin revisi yang diinginkan Jokowi adalah memberikan wewenang kepada KPK untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi.
“Belum ada produk hukum dari pemerintah dan DPR yang mempercepat pemberantasan korupsi. RUU Perampasan Aset masih belum disahkan, sedangkan UU KPK malah direvisi,” tambah Zaenur.
Selama kepemimpinannya selama sepuluh tahun, agenda pemberantasan korupsi tidak menjadi prioritas bagi pemerintahan Jokowi. Menurut Zaenur, Jokowi terkesan lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan pemberantasan korupsi.
“Ini ternyata juga tidak berhasil diwujudkan karena sektor hukumnya tidak diperbaiki terlebih dahulu. Pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, banyak bergantung pada sumber daya alam yang rentan terhadap korupsi di berbagai sektor. Korupsi menjadi penghalang bagi pertumbuhan ekonomi dan investasi asing,” ungkap Zaenur.
Warisan buruk Jokowi dalam pemberantasan korupsi tidak boleh dilanjutkan pada pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Untuk meningkatkan IPK, perlu fokus pada penegakan hukum dan korupsi politik.
Jika Prabowo-Gibran serius dalam meningkatkan IPK, KPK sebagai lembaga independen harus dikembalikan. “Supaya KPK bisa efektif dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu,” ujar Zaenur.
Orin Gusta Andini, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, pesimis bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan membawa terobosan dalam pemberantasan korupsi. Terlebih lagi, Wapres (Gibran, putra sulung Jokowi) sendiri penuh kontroversi dan tidak lepas dari jejak buruk Jokowi.
Orin menawarkan beberapa solusi untuk meningkatkan IPK, termasuk memastikan rekrutmen pegawai dan pimpinan KPK bebas dari intervensi kekuasaan. “Agar KPK tidak melayani kepentingan penguasa seperti saat ini,” ucap Orin.
Selain itu, lembaga negara yang terkait dengan penegakan hukum korupsi juga perlu di audit dan dievaluasi. Lembaga-lembaga ini harus diisi oleh individu yang tidak memiliki afiliasi politik dan bersifat profesional.
Orin juga menekankan perlunya KPK dikembalikan ke lembaga independen dan bukan lembaga berafiliasi dengan pemerintah. Revisi UU KPK juga perlu dilakukan, bersamaan dengan pembahasan RUU Perampasan Aset. Revisi UU Pemberantasan Korupsi harus disesuaikan dengan perkembangan terbaru dalam delik korupsi untuk tetap konsisten dengan tujuan asalnya.