Gejala deotonomisasi daerah atau resentralisasi tampaknya akan semakin kuat di masa pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Dalam kurun waktu kurang dari seratus hari, kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran, terutama melalui menteri dan kepala badan, cenderung mereduksi kewenangan pemerintah daerah. Salah satunya adalah rencana penarikan kewenangan pengelolaan penyuluh pertanian lapangan (PPL) ke pusat yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan. Menurut Zulkifli, tindakan ini diperlukan untuk mencapai target swasembada pangan pada tahun 2027.
Di sisi lain, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menerapkan kebijakan sentralisasi dengan merelokasi periset dari daerah ke pusat, yang direncanakan akan berlaku pada Januari 2025. Selain itu, ancaman terhadap otonomi daerah juga muncul dari kondisi politik, terutama dengan kemenangan calon kepala daerah dari Koalisi Indonesia Maju pada Pilkada Serentak 2024.
Pakar kajian otonomi daerah, Djohermansyah Djohan, menilai bahwa resentralisasi sudah terjadi sejak era pemerintahan sebelumnya. Sebagai contoh, penarikan kewenangan mengenai izin pertambangan ke pusat, yang sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Dengan adanya perubahan kebijakan ini, otonomi daerah semakin tergerus. Djohermansyah juga mencermati potensi kebijakan politik dari koalisi parpol Prabowo-Gibran yang dapat mempengaruhi otonomi daerah.
Melihat kondisi ini, revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mungkin diperlukan untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan memastikan pembagian kewenangan yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, menambahkan bahwa pembangunan relasi yang sehat antara pemerintah pusat dan kepala daerah juga merupakan hal yang penting untuk menjaga otonomi daerah yang tidak semakin terdegradasi.