Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI sedang dalam sorotan setelah memberikan teguran tertulis kepada anggota DPR dari fraksi PDI-Perjuangan, Yulius Setiarto, akibat pernyataannya di Tiktok pada 25 November 2024. Yulius mempertanyakan keberadaan parcok dalam pemenangan kandidat di Pilkada Serentak 2024. Menanggapi sanksi ini, Yulius berdalih menjalankan tugas pengawasan sebagai anggota DPR, dengan hak konstitusional untuk mengutarakan pendapat. MKD juga memberikan sanksi serupa kepada anggota Gerindra, Nuroji, karena pernyataan kekecewaannya terhadap tim nasional sepak bola Indonesia yang banyak diisi pemain naturalisasi.
Keputusan MKD menuai kritik dari pakar hukum yang menyebutnya tidak beralasan. MKD dituduh sebagai alat pemerintah untuk membungkam kritik, khususnya terhadap Yulius. Kritik juga datang dari peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) terkait ketergesaan MKD dalam menangani kasus ini. Mereka menyatakan bahwa proses yang seharusnya dilalui tidak diikuti, tanpa adanya jeda waktu yang diperlukan.
Kritik terhadap keterlibatan aparat dalam politik praktis seharusnya dianggap sebagai kritik konstruktif untuk penguatan lembaga negara, bukan sebagai pelanggaran etika. Keputusan MKD terhadap Yulius dianggap mengorbankan independensi dan keadilan lembaga tersebut. Kritik juga ditujukan pada logika MKD yang dianggap lebih mengutamakan kepentingan politik tertentu daripada menjaga kehormatan DPR itu sendiri. Disarankan agar MKD bekerja dengan prinsip independensi, keadilan, dan etika yang kuat dalam menjalankan fungsinya.