Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20% yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sesuai dengan konstitusi. Putusan ini diambil setelah MK mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Menurut Wakil Ketua MK, Saldi Isra, tanpa adanya ambang batas pencalonan, semua partai politik peserta pemilu berpotensi untuk mengusulkan calon presiden. Untuk itu, KPU diminta untuk membuat aturan turunan UU Pemilu agar jumlah kandidat yang akan bertarung dalam Pilpres 2029 tetap terkendali.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riewanto, menyatakan bahwa putusan MK terkait ambang batas pencalonan presiden akan sangat berdampak pada konfigurasi politik menjelang Pemilu 2029. Ia menilai bahwa putusan ini akan membuka peluang persaingan politik yang lebih bebas tanpa adanya batasan tertentu.
Namun, Agus juga menyoroti dampak negatif dari putusan ini, salah satunya adalah potensi peningkatan biaya pemilu akibat banyaknya kandidat yang akan bertarung. Selain itu, ia juga mengkhawatirkan kemungkinan munculnya politisi kutu loncat yang hanya melihat popularitas sebagai alasan untuk mencalonkan diri.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiatri, mengapresiasi putusan MK nomor 62. Menurutnya, syarat ambang batas pencalonan presiden yang ditentukan berdasarkan hasil Pileg periode sebelumnya tidak lagi relevan. Aisah berpendapat bahwa putusan MK memberikan kesempatan bagi individu terbaik untuk mempersiapkan diri menjadi kandidat pilpres di masa depan.
Ia juga mengingatkan agar partai politik menjalankan kaderisasi yang baik dan matang sehingga kandidat yang diusung benar-benar memiliki kapabilitas untuk memimpin bangsa. Dengan demikian, putusan MK ini diharapkan dapat membuka ruang bagi terciptanya persaingan politik yang lebih sehat dan memberikan pilihan yang terbaik bagi publik.