Wacana pembatalan ambang batas parlemen sebesar 4% suara sah nasional menguat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024 telah mengabulkan sebagian gugatan terhadap Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas parlemen sebesar 4%. Meskipun ambang batas tersebut tetap berlaku untuk pemilu legislatif atau DPR pada 2024, MK memberikan syarat konstitusional untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan seterusnya.
Yusak Farhan, Direktur Eksekutif Citra Institute, menjelaskan bahwa Putusan MK terkait ambang batas parlemen 4% tidak bermaksud untuk menghilangkan ambang batas parlemen, namun untuk memoderasi ambang batas tersebut agar lebih rasional. Menurut Yusak, mengubah ambang batas parlemen menjadi 0% dapat menyebabkan sistem multipartai memburuk dan tidak sesuai dengan pemerintahan presidensial. Hal ini juga dapat memungkinkan partai politik yang didirikan hanya untuk kepentingan elitenya lolos ke parlemen tanpa mekanisme seleksi yang jelas.
Kahfi Adlan Hafiz, seorang peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan bahwa ambang batas parlemen 4% perlu diubah setelah Putusan MK sebelumnya, namun tidak harus menjadi 0%. Ia menekankan bahwa kenaikan ambang batas tidak akan membuat sistem multipartai menjadi lebih sederhana. Kahfi juga memaparkan bahwa sejak diberlakukannya ambang batas parlemen pada 2009, hanya enam atau tujuh partai politik yang dianggap efektif dalam DPR. Perludem memiliki rekomendasi skema untuk menyederhanakan sistem multipartai, seperti memperkecil daerah pemilihan atau jumlah kursi dalam setiap daerah pemilihan, serta mendiskusikan konversi suara menjadi formula elektoral yang efektif.