Rapat terbaru membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) atas Perubahan Ketiga Undang-undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara kembali digelar di ruang Badan Legislasi DPR, Senayan Jakarta. DPR dan pemerintah bertekad untuk mengesahkan revisi UU Minerba pada 18 Februari 2025. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyatakan kesiapan pemerintah untuk mengikuti jadwal tersebut, sementara daftar inventarisasi masalah (DIM) tengah disusun sebelum pembahasan RUU Minerba secara resmi dilakukan. Revisi UU Minerba mendesak setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai beberapa pasal yang bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2025, revisi tersebut memicu perdebatan dengan lembaga swadaya masyarakat, seperti Walhi dan Jatam.
Dalam rapat terbaru, DPR dan pemerintah menyepakati sejumlah poin revisi UU Minerba. Hal ini termasuk penyesuaian pada beberapa pasal terkait pemanfaatan ruang pertambangan, pemberian izin pertambangan kepada berbagai entitas seperti ormas, UMKM, dan perguruan tinggi. Namun, revisi tersebut menuai kritik dari masyarakat sipil karena dianggap hanya untuk membenarkan regulasi yang sudah ada, termasuk dalam PP Nomor 25 Tahun 2024. Poin revisi krusial lainnya melibatkan penetapan wilayah izin pertambangan, pemberian izin secara prioritas, dan pengelolaan tambang oleh berbagai entitas.
Tanggapan dari kalangan pengusaha tambang juga menjadi sorotan, sebagian merasa bahwa pemberian izin prioritas kepada entitas lain selain perusahaan tambang yang sudah berpengalaman tidak adil. Mereka mempertanyakan kemampuan UMKM dan perguruan tinggi dalam mengelola bisnis tambang yang kompleks, termasuk menghadapi tantangan izin dan keberlanjutan lingkungan. Perdebatan terkait revisi UU Minerba terus berlanjut antara pemerintah, DPR, dan berbagai pihak yang terkait.