Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, memberikan peringatan kepada prajurit TNI agar mundur ketika terlibat dalam dunia politik atau pemerintahan. Pernyataan tersebut disampaikan oleh SBY dalam arahannya kepada kader Partai Demokrat di kediamannya di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. SBY mengambil contoh pengalamannya di masa lalu sebagai Ketua Reformasi ABRI setelah Orde Baru runtuh. Mewujudkan upaya reformasi militer, SBY bersama timnya mengeluarkan kebijakan yang menegaskan bahwa prajurit TNI harus mundur jika ingin terlibat dalam pemerintahan.
SBY juga membagikan kisah tentang putranya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang meskipun baru diangkat sebagai Komandan Batalyon Infanteri Mekanis, memilih mundur dari TNI ketika mencalonkan diri sebagai gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Wakil Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Lodewijk F Paulus, merespons pernyataan SBY dengan menyampaikan bahwa pemerintah sedang meninjau regulasi terkait penempatan prajurit TNI di jabatan sipil.
Masih dalam konteks ini, Menteri BUMN Erick Thohir telah menunjuk Mayor Jenderal TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perum Bulog. Proses revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI juga sedang dibahas oleh DPR dan pemerintah, salah satunya terkait penempatan prajurit TNI di jabatan sipil. Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, menyatakan dukungannya terhadap masukan SBY terkait maraknya perwira TNI aktif yang menjabat posisi sipil dalam era pemerintahan Prabowo Subianto.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, menekankan bahwa UU TNI telah memberikan batasan yang jelas terkait jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif. Namun, banyak perwira TNI aktif saat ini mengisi posisi strategis dalam pemerintahan, menunjukkan pentingnya untuk menjaga supremasi sipil dalam tatanan demokrasi Indonesia.