Para wakil menteri (wamen) yang juga menjabat sebagai pimpinan badan usaha milik negara (BUMN) dan lembaga negara lainnya seharusnya mundur dari jabatan ganda tersebut. Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi, dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama, praktek rangkap jabatan oleh para wamen jelas melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 80/PUU-XXII/2019.
Dalam putusannya, MK mengklarifikasi larangan bagi wamen merangkap jabatan sebagai komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN. Larangan ini juga mencakup status wakil menteri sebagai pejabat yang setara dengan menteri. Undang-undang No 1/2025 tentang BUMN dan Undang-undang No 25/2009 tentang Pelayanan Publik juga melarang rangkap jabatan bagi para wamen.
Suwardi berpendapat bahwa rangkap jabatan wamen menunjukkan kurang profesionalnya pemerintah dalam mengelola kementerian. Dia menekankan pentingnya Presiden untuk menegaskan agar setiap orang hanya menjabat di satu posisi. Dari total 56 wamen di Kabinet Merah Putih, beberapa di antaranya memiliki jabatan ganda, seperti Wamen BUMN Kartika Wirjoatmodjo, Wamen BUMN Aminuddin Ma’ruf, dan Wamen BUMN Dony Oskaria.
Mengacu pada putusan MK, para pakar hukum sepakat bahwa para wamen seharusnya mundur dari jabatan ganda mereka. Putusan MK telah sangat jelas dan tidak memberikan ruang untuk tawar-menawar. Perkara ini bahkan sudah masuk ke ranah hukum dengan permohonan uji materi Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang sedang diproses oleh MK. Seperti yang dikatakan oleh Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies, Juhaidy Rizaldy Rorington, penyesuaian isi undang-undang dengan putusan MK merupakan langkah yang sangat penting untuk memastikan kepatuhan terhadap konstitusi.