Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), terus menampakkan diri di hadapan publik meskipun sudah tidak lagi menjabat. Belakangan ini, Jokowi tersandung masalah dugaan ijazah palsu yang menimpanya. Ia dituduh tidak benar-benar lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM). Kontroversi seputar keaslian ijazah Jokowi mencuat setelah mantan dosen Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, mempertanyakan keabsahan ijazah dan skripsinya. Viral di media sosial, Rismon menyoroti penggunaan font Times New Roman yang dinilainya belum eksis pada era 1980-an hingga 1990-an.
Polemik tersebut memicu perdebatan di dunia maya, dengan pro dan kontra yang terus bergulir. UGM pun turun tangan untuk memberikan klarifikasi. Menurut Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, pihaknya memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan bahwa Jokowi benar-benar kuliah di kampus tersebut dan lulus pada November 1985. Meski demikian, Jokowi enggan memperlihatkan ijazah aslinya ketika digugat oleh sejumlah pihak.
Di samping kontroversi seputar ijazahnya, Jokowi juga sering muncul di ruang publik berkat eksistensi wisata Jokowi yang menjadi daya tarik tersendiri. Destinasi wisata ini pertama kali diungkapkan oleh Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, setelah mendapat laporan dari Wali Kota Solo. Berbagai elemen dari rumah Jokowi hingga kuliner khas Solo menjadi bagian dari paket wisata yang menarik bagi pengunjung.
Sejumlah peneliti dan analis politik mengamati bahwa polemik ijazah palsu yang menimpa Jokowi sebagian besar dipandang sebagai bagian dari strategi politiknya. Menurut mereka, kontroversi ini bisa diatasi dengan mudah jika Jokowi bersedia menunjukkan ijazah aslinya. Keberadaan wisata Jokowi dan kunjungan elite politik ke rumahnya juga dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan pengaruh dan kredibilitasnya di tengah lanskap politik yang dinamis.
Berdasarkan penilaian dari berbagai pihak, kesimpulannya adalah bahwa Jokowi tetap memegang peranan penting dalam politik nasional. Dugaan ijazah palsu yang melibatkannya dianggap sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan dan jaringan politik yang telah dibangunnya selama ini. Sebagai politisi yang masih berambisi untuk tetap eksis dan berperan dalam politik nasional, Jokowi terus tampil di depan publik dan menjaga citra serta pengaruhnya dengan seksama.