Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku Kepemimpinan Militer 1: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto]
Saya pertama kali bertemu dan mengenal Pak Azwar Syam saat menjalani pendidikan sebagai taruna di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) bagian umum dan darat di Magelang pada tahun 1970. Para kadet di AKABRI ini dibagi ke dalam batalyon-batalyon taruna dan kompi-kompi taruna. Saya bergabung dalam Kompi 2 Batalyon C4.
Hari-hari pertama masuk AKABRI tahun 1970, sosok ini yang mencuri perhatian saya. Pak Azwar Syam adalah seorang dengan berperawakan langsing, kurus, tidak terlihat satu sentimeter pun lemak di badannya, berkulit hitam, sorot matanya tajam dan penuh percaya diri. Beliau yang menerima kami.
Dia memakai baret ungu, baju hijaunya terlihat sudah belel. Tapi sangat rapi karena disetrika, bahkan dikanji. Kopelnya sangat mengkilat. Demikian pula sepatunya. Di papan nama dada tertulis Azwar Syam. Sementara bagian dada kiri terdapat tiga huruf besar KKO. Pak Azwar Syam inilah Komandan Kompi 2 Batalyon C4.
Sosok inilah yang sangat besar memengaruhi saya sampai saat ini. Ada beberapa hal yang saya pelajari dari sosok Pak Azwar. Pertama, terkait kerapian. Dari beliau saya belajar bahwa komandan pasukan di lapangan tidak perlu memakai pakaian baru. Tapi yang penting harus rapi. Bajunya memang sudah terlihat belel, justru menambah wibawa atau karisma beliau. Menjadi lusuh karena sering dipakai di lapangan dan sering dicuci. Pakaian ini malah menjadi kebanggaan. Simbol dari perjuangan.
Kedua, ketegasan. Orang yang pertama kali menempeleng saya, selain kedua orang tua saya, tentunya, adalah beliau. Orang tua saya menampar saya itu juga ketika saya masih kecil karena mungkin ketika itu saya anak nakal. Menginjak masa SMP dan SMA, tidak pernah lagi kedua orang tua saya menempeleng saya.
Perlakuan ini saya terima pada hari-hari pertama masuk AKABRI. Kejadiannya pada masa perpeloncoan. Saat itu, kepala kami sudah digunduli, para senior kemudian memberikan helm besi baja tanpa alas. Para senior berbagi tips untuk menyiasati agar kepala tidak sakit saat memakai helm baja tersebut. Yaitu melapisi kepala dengan kain bahan. Karena itu banyak yang berinisiatif memanfaatkan celana dalam hasil pembagian dari AKABRI.
Walaupun celana dalam pembagian itu berbahan kain yang sangat kasar dan memakai tali kawat pula, tapi lumayan bisa dimanfaatkan untuk mengurangi rasa sakit di kepala ketika memakai helm baja tersebut.
Selain itu, ada juga senior lain yang memberikan setengah tangkap gula jawa kepada saya. Dengan berbisik dia menjelaskan memakan gula jawa akan membuat tubuh tetap prima, tidak mudah lelah. Saya tidak mengerti apakah maksudnya baik atau tidak. Tapi, dengan polosnya sebagai taruna junior, gula jawa itu saya terima dan saya menaruhnya di kantong celana.
Sesaat kemudian, tiba-tiba digelar apel. Letnan KKO Azwar Syam memeriksa kami satu per satu. Ketika tiba menghampiri saya, dia langsung memegang kantong celana saya. Saya tidak tahu apakah dia sudah melihat sebelumnya bahwa saya mengantongi gula jawa atau tidak.
Dia lantas bertanya, “Ada apa ini?”
Lantas, beliau mengecek dan mengambil gula jawa dari kantong celana saya, dan tanpa babibu, beliau langsung menempeleng saya. Poook. Kira-kira begitu bunyinya. Sakit dan menyakitkan.
Jadi, saya mendapat “kehormatan” sebagai taruna pertama yang ditempeleng di Kompi 2 C4.
Saya sempat kaget dan mempertanyakan kenapa kadet di Akademi Militer ditempeleng. Saya membandingkan dengan pendidikan di luar negeri, seperti di Inggris, menempeleng itu tidak boleh. Maklum, saya lama bersekolah di Eropa, sehingga saat itu tentu ada kekagetan budaya, karena masuk di lingkungan pendidikan yang budayanya berbeda jauh. Sehingga terbesit pertanyaan seperti itu.
Namun ajaibnya, saya tidak membenci Letnan Azwar Syam yang telah menempeleng saya di depan taruna-taruna lain tersebut. Bahkan, lambat laun timbul rasa hormat dan sayang kepada beliau. Karena ternyata selain orangnya sangat keras, juga sangat disiplin. Inilah nilai ketiga yang saya dapatkan dari beliau.
Beliau selalu tiba pertama kali setiap akan melaksanakan apel pagi. Beliau juga sangat teliti dalam memeriksa senjata. Sampai hal-hal terkecil akan beliau periksa. Dalam memeriksa senjata, beliau berdiri dengan mengambil jarak 2-3 meter dari pasukan.
Kami melemparkan senjata ke beliau. Beliau menangkap senjata tersebut dengan satu tangan. Lalu memeriksa dan mengecek senjata tersebut. Setelah itu beliau melemparkan kembali kepada kami.
Keempat, peduli terhadap anak buah. Meskipun orangnya tegas dan keras, tapi juga peduli kepada bawahan.
Kalau anak buahnya mendapat nilai kurang baik, beliau selalu menemui dosen-dosen dan menghadap ke departemen- departemen untuk memperjuangkan agar ada kesempatan taruna diperbaiki nilainya. Pada saat tahun akademi berakhir, seluruh anggota pasukannya di Kompi 2 C 4 lulus. Walau ada juga yang kurang memuaskan bahkan dengan nilai sangat rendah.
Saya merasa sosok Danki Letnan Azwar Syam inilah yang banyak memengaruhi saya. Bahwa seorang komandan harus selalu harus tegas, tapi harus correct, fisik kuat, dan mumpuni serta tidak banyak bicara.
Tanpa banyak santi aji, nasihat, tapi beliau telah membentuk kami-kami ini para anak buahnya dengan keteladanan yang nyata.
Selepas saya lulus dari AKABRI, kami berpisah. Saya tidak pernah lagi bertemu beliau sampai saya pensiun dari TNI. Saya bertemu lagi dengan beliau setelah saya terjun ke politik. Pada tahun 2003, saya berceramah dalam acara yang digelar Partai Golongan Karya (Golkar) di Kota Palu. Ketika itu saya masih aktif di Golkar.
Hadir banyak tamu dalam forum tersebut, seperti para pejabat Pemda dan tokoh-tokoh masyarakat. Saya kaget ketika melihat ada sosok Pak Azwar Syam di antara para tamu itu. Saya masih mengenal dengan baik wajah dan perawakan beliau walaupun sudah berpisah selama 33 tahun dan meskipun beliau sudah terlihat bertambah sepuh. Sebelumnya, saya memang pernah mendengar beliau tinggal di Palu.
Ketika sedang berpidato, saya langsung menyampaikan bahwa di forum ini saya melihat ada mantan pelatih saya dulu, yaitu Pak Azwar Syam. Beliau komandan Kompi saya di AKABRI yang ketika itu menggembleng saya, membentuk saya. Saya juga menyampaikan bahwa tanpa beliau, Prabowo Subianto tidak mungkin menjadi Letnan Jenderal.
Saya juga berseloroh dengan mengatakan, bagi mereka yang menganggap Prabowo Subianto itu keras jangan salahkan saya. Tapi salahkan Pak Azwar Syam karena dia yang menggembleng saya. Semua audiens tertawa pada saat itu.
Dalam kesempatan itu saya juga melihat betapa beliau adalah sosok yang berjiwa besar, berjiwa pemimpin, dan berjiwa guru. Benarlah sebuah adagium yang menyebutkan, “seorang guru sejati akan bangga melihat muridnya melampui dia.” Beliau pensiun dengan pangkat terakhir Kolonel, sementara saya Letnan Jenderal.
Tidak sampai di situ, ketika saya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) ternyata beliau juga aktif dan ikut masuk ke partai besutan saya tersebut. Beliau sangat aktif di akar rumput memperjuangkan pesan-pesan politik saya kepada rakyat di akar rumput.
Pun demikian, ketika saya menjadi calon Presiden, beliau sangat aktif bergerak membantu kerja-kerja kampanye saya dan sahabat-sahabat saya lainnya. Maka, lengkaplah agaknya Pak Azwar Syam sebagai guru. Dedikasi beliau memang ingin untuk memastikan anak muridnya dan anak buahnya sukses melebihi dirinya, bahkan tak sungkan untuk ikut “memanggul” mengantar kepada pintu pengabdian tertinggi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Beliau Komandan dan guru sejati. Beliau ikut membentuk pribadi saya sebagai prajurit TNI.