“Saya percaya bahwa potensi suara PDIP yang paling besar, pasti akan menjadi pertimbangan sendiri jika akan mengambil keputusan di DPR,” katanya kepada Alinea.id, Kamis (15/2).
Ali melanjutkan, PDIP pernah berada di luar pemerintahan sejak dipimpin Megawati pada tahun 1993. Saat itu, partai masih bernama PDI.
Kemudian, hal yang sama terjadi pada tahun 2004 dan 2009. Sekarang, katanya, akan terulang lagi seiring dengan besarnya peluang kemenangan Prabowo-Gibran.
Terlepas dari alasan kekecewaan terhadap Jokowi, Ali mengingatkan bahwa PDIP diprediksi akan serius mengontrol pemerintahan Prabowo ke depan. Hal ini karena Ketua Umum Partai Gerindra memiliki banyak catatan.
“Memang sulit bagi Prabowo untuk lepas dari citra Orde Baru. Selain itu, isu Prabowo sebagai pelanggar HAM masih menjadi perhatian,” jelasnya.
Di sisi lain, Ali menilai peluang PDIP untuk masuk ke dalam pemerintahan Prabowo masih terbuka. Hal ini dapat terjadi jika partai berlambang banteng tersebut mempertimbangkan figur Jokowi. Keputusan akhir ada di tangan Megawati.
“Penting untuk menjadi oposisi secara konsisten,” kata Bambang Rianto, seorang pengamat politik. Ini berarti menolak untuk berada dalam pemerintahan bersama Prabowo.
“PDI Perjuangan harus menunjukkan ketegasan dalam menolak tawaran untuk berkoalisi dengan kubu Prabowo-Gibran,” ujarnya kepada Alinea.id, Jumat (16/2).
Menurut Bambang, PDIP harus aktif dan progresif dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan yang tidak pro rakyat. Kebermanfaatan dari menjadi oposisi diharapkan dapat memperkuat demokrasi dan partai politik.
Dia juga mengingatkan bahwa banyak partai politik di Indonesia tidak konsisten sebagai oposisi. Oleh karena itu, publik sangat berharap agar PDIP tetap berada di luar pemerintahan.
“Dengan demikian, ke depan, sikap oposisi PDIP bisa menegaskan bahwa partai ini benar-benar mewakili suara rakyat kecil.”