Perseteruan antara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belum mereda. Yang terbaru, mantan Sekretaris Jenderal PKB Lukman Edy telah mengajukan gugatan terhadap susunan kepengurusan PKB hasil Muktamar Bali 2024.
Menurut Lukman, kepengurusan baru PKB yang disusun oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar tidak sah. Dia berpendapat bahwa PKB sedang mengalami konflik internal. Berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), tidak boleh ada keputusan strategis yang diambil saat partai mengalami konflik internal.
“Celah status quo. Ketika status quo, tidak ada pihak di antara dua pihak yang berselisih yang diizinkan membuat kebijakan strategis atas nama partai sampai ada keputusan yang menjadi hukum tetap,” ujar Lukman kepada wartawan di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (27/8).
Cak Imin terpilih kembali secara aklamasi sebagai Ketua Umum PKB dalam Muktamar ke-VI PKB di Nusa Dua Convention Center, Bali, Sabtu (24/8) lalu. Menyertai Cak Imin, Wakil Presiden Ma’ruf Amin ditunjuk sebagai Ketua Dewan Syura PKB.
Menurut Lukman, muktamar tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) dan AD/ART PKB. Dia mengklaim telah mendapat mandat dari 315 pengurus cabang PKB untuk menyelenggarakan muktamar tandingan pada awal September mendatang.
“Muktamar (di Bali) dianggap tidak sah sehingga kami merasa perlunya muktamar yang sebenarnya diselenggarakan, sesuai dengan anggaran dasar dan rumah tangga,” ujar Lukman.
Bulan Juli lalu, Lukman diundang oleh PBNU untuk memberikan penjelasan terkait konflik antara PKB dan PBNU. Saat memberikan keterangan pers, Lukman menyebut PKB di bawah Cak Imin semakin sentralistik. Salah satu tanda-tanda tersebut adalah pengecilan peran para kiai di partai.
Jelang Pilpres 2024, hubungan antara PKB dan PBNU semakin tegang karena perbedaan pilihan politik. PKB mendukung Anies Baswedan sebagai kandidat presiden, sementara PBNU, terutama Gus Yahya dan adiknya Yaqut Cholil Qoumas, cenderung mendukung Prabowo Subianto.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Wali Songo, Semarang, Kholid Adid menilai kemungkinan transfer kekuasaan PKB terbuka lebar. Terlebih lagi, Kementerian Hukum dan HAM sekarang berada di bawah kendali politikus Gerindra Supratman Andi Agtas.
Menurut Kholid, Cak Imin dan PKB perlu menunjukkan loyalitas mereka kepada Prabowo sebagai presiden terpilih. Cak Imin juga perlu memperbaiki hubungan dengan elite-elite PBNU jika tidak ingin kepengurusan PKB dipertanyakan.
“Karena pada dasarnya PKB adalah partai yang dibentuk oleh PBNU. Dengan penunjukan KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Syura PKB, diharapkan dapat menjembatani komunikasi dengan PBNU, Jokowi, dan Prabowo,” ujar Kholid kepada Alinea.id, Kamis (29/8).
Berbeda dengan Musyawarah Nasional Golkar dan Kongres Partai Amanat Nasional (PAN), Muktamar PKB di Bali tidak dihadiri oleh Presiden Jokowi. Ketua Gerindra dan presiden terpilih Prabowo Subianto juga tidak hadir karena alasan kesehatan.
Dari segi personel, menurut Kholid, pihak-pihak yang menggalakkan muktamar tandingan tidak memiliki pengaruh yang kuat di dalam PKB. Namun, mereka tetap percaya diri untuk terus bergerak karena mendapat dukungan dari PBNU.
“Yang memiliki kekuatan sebenarnya adalah PBNU. PBNU adalah suara yang didengarkan oleh Jokowi dan Prabowo, termasuk juga oleh warga NU. Di sini, kelompok muktamar tandingan dapat menjadi kekuatan besar jika terus didukung oleh PBNU dan diakui oleh Kemenkumham,” ujar Kholid.
Cak Imin, menurut Kholid, menyadari bahwa partainya dapat tergoyahkan jika tidak sejalan dengan keinginan penguasa. Oleh karena itu, PKB bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus di Pilgub DKI dan tidak mencalonkan KH Yusuf Chudlori alias Gus Yusuf sebagai calon gubernur Jawa Tengah.
“Setelah muktamar di Bali, PKB merasa khawatir tidak mendapatkan SK Kemenkumham sehingga harus mengikuti kepentingan Jokowi dan Prabowo, terutama di daerah yang menjadi target kemenangan KIM, seperti DKI dan Jawa Tengah. Hal ini bisa dimengerti, apalagi adanya isu muktamar tandingan,” jelas Kholid.
Analis politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, menilai bahwa Gus Yahya kehilangan momentum untuk merebut PKB dari Cak Imin. Menurutnya, sudah ada rekonsiliasi antara Cak Imin dan Prabowo setelah PKB mencabut dukungan terhadap Anies Baswedan di Pilgub DKI.
“Meskipun mungkin muktamar tandingan nantinya digelar, dampak politiknya kemungkinan tidak akan signifikan,” kata Zaki kepada Alinea.id di Jakarta.
Zaki menjelaskan beberapa faktor. Pertama, muktamar yang dipimpin oleh Lukman Edi dan Syaifullah Yusuf terlihat melemah seiring dengan melemahnya kekuatan politik Jokowi setelah demonstrasi ribuan mahasiswa dan aktivis menolak revisi UU Pilkada.
Kedua, pengaruh politik Erick Thohir juga melemah di pemerintahan seiring berakhirnya masa jabatan Jokowi. Sebagai anggota kehormatan Banser NU, Erick dianggap sebagai motor penggerak bagi pendongkelan Cak Imin di PKB.
Di sisi lain, Cak Imin menunjuk Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Syura PKB. Ma’ruf memberikan legitimasi bagi Cak Imin karena pernah menjabat sebagai Ketua Tim Lima yang ditunjuk oleh PBNU untuk membantu lahirnya PKB pada tahun 1998.
“Tuduhan bahwa PKB di bawah Cak Imin telah menyimpang dari tujuan awal pendirian PKB telah dibantah oleh Ma’ruf Amin sendiri,” kata Zaki.
Meskipun demikian, Zaki setuju bahwa gaya kepemimpinan Cak Imin perlu diperbaiki. Menurutnya, PKB di bawah Cak Imin terlalu sentralistik, sehingga jauh dari konsep partai modern. Regenerasi kepemimpinan juga terhambat.
“Tantangan serius bagi PKB saat ini adalah perlunya reformasi secara radikal. Jika tidak ada perbaikan, PKB berisiko tersingkir dalam persaingan antar partai yang semakin ketat,” ungkap Zaki.