Sukron berpendapat bahwa ketiadaan oposisi yang kuat di masa pemerintahan mendatang dapat berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Terlebih lagi, Jokowi terlihat semakin mengarah sebagai pemimpin otoriter, seperti memberikan dukungan kepada Gibran untuk melanjutkan pemerintahan.
“Saya berharap PDI-P, yang akan menguasai parlemen, seharusnya menjadi bagian dari oposisi bersama dengan partai-partai yang mendukung Anies-Muhaimin. Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan agar demokrasi bisa berjalan dengan maksimal,” ujar Sukron.
Kehadiran oposisi yang kuat penting untuk memastikan bahwa legislasi yang kontroversial tidak akan disahkan di parlemen. Sukron mencontohkan perubahan UU KPK dan UU Cipta Kerja yang lancar disahkan pada periode kedua pemerintahan Jokowi karena hanya ada PKS sebagai oposisi di DPR.
“Dalam demokrasi, oposisi adalah hal yang penting untuk keseimbangan. Jika ada oposisi, maka demokrasi akan lebih stabil,” tambah Sukron.
Guru besar ilmu politik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, mengatakan bahwa tidak semua partai politik yang kalah dalam Pilpres 2024 akan menjadi oposisi. Ia berharap bahwa partai-partai yang memilih untuk menjadi oposisi tidak sembarangan dalam menentang program dari Prabowo-Gibran. Perlu adanya kesepakatan di antara semua partai politik mengenai arah pembangunan Indonesia setelah Jokowi lengser.
Menurut Cecep, perlu adanya oposisi yang kuat di pemerintahan agar fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi bisa berjalan dengan optimal tanpa adanya pengaruh pemerintah.
“Oposisi harus bersifat objektif. Program-program pemerintah yang baik harus diakui sebagai baik dan yang buruk harus dikritik,” ujar Cecep.