Dalam debat perdana Pilgub DKI Jakarta 2024 di Jakarta International Expo (JIExpo) Kemayoran, Jakarta Pusat pada Minggu (6/10) malam, pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono menyiapkan Kartu Jakarta Maju atau KAMU jika nanti terpilih memimpin Jakarta.
Kartu itu, kata Ridwan, merupakan penggabungan beberapa kartu yang digunakan untuk mengakses layanan ke dalam satu basis data. Kartu tersebut bisa dimanfaatkan mengakses layanan sosial dan transportasi publik secara gratis untuk anak yatim dan “pasukan rompi”. Ridwan juga bakal menambahkan kartu pelayanan ibadah, serta mempertahankan kartu-kartu yang sudah ada, seperti pendidikan dan kesehatan.
Calon gubernur DKI Jakarta nomor urut 2, Dharma Pongrekun pun memperkenalkan Kartu Jakartaku Aman. Dikutip dari Antara, Dharma mengatakan, kartu itu bakal terintegrasi dengan semua kartu layanan yang ada sebelumnya. Sementara pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno tidak menjanjikan kartu sebagai program andalan yang ditawarkan.
Menurut sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Asep Suryana, program dalam bentuk kartu merupakan strategi untuk menyiasati seolah pemerintah daerah hadir langsung di tengah masyarakat.
“Di tengah ketidaksanggupan mendatangi langsung masyarakat,” ujar Asep kepada Alinea.id, Selasa (8/10).
Di sisi lain, kata dia, masyarakat yang kadung frustasi dengan politik, memang perlu program yang konkret untuk percaya salah satu kandidat. Strategi itu sudah dilakukan sejak Joko Widodo menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta.
Program dalam bentuk kartu, menurut dia, sengaja disalin dan dimodifikasi oleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana karena melihat kesuksesan Jokowi menjaring pemilih dengan kartu-kartu andalan, seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS) saat berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilgub DKI Jakarta 2012.
“Bagi masyarakat menengah ke bawah, program ini konkret. Karena mereka memang masyarakat yang frustasi dalam politik itu memerlukan hal yang konkret. Nah, kartu-kartu ini laku di masyarakat Jakarta kelas bawah,” ucap Asep.
Sementara, Asep menduga, pasangan Pramono Anung-Rano Karno tidak “menjual” kartu karena tak ingin diasosiasikan dekat dengan Jokowi, yang belakangan renggang dengan PDI-P karena urusan Pilpres 2024.
“Oleh karena itu, simbol Betawi di sisi Rano lebih ditonjolkan ketimbang hal-hal yang diasosiasikan kepada Jokowi,” tutur Asep.
Namun, dari sisi strategi dan “jualan” program kampanye yang ditawarkan, Asep menilai, pasangan Pramono-Rano terlihat tidak niat untuk menang Pilgub Jakarta. Sebab, tidak ada yang “greget” ditawarkan kepada pemilih.
“Sepertinya PDI-P ini memajukan calon karena alasan eksistensi saja, bukan untuk menang,” kata Asep.
Dihubungi terpisah, peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa menilai, meski tidak memperkenalkan kartu dalam debat perdana Pilgub DKI Jakarta beberapa waktu lalu, tetapi pasangan Pramono-Rano bukan berarti tidak mengandalkan program berbentuk kartu untuk menjaring pemilih.
Alasannya, saat debat, Pramono-Rano tidak menegaskan akan menghapus program KJP atau KJS untuk mengurangi citra Jokowi. “Dia (Pramono-Rano) enggak bilang akan tidak menggunakan (kartu itu),” tutur Ardha.
Akan tetapi, Ardha menduga, Pramono-Rano memahami bila kelemahan program KJP atau KJS terletak pada data yang carut-marut. Misalnya, ada kasus beberapa orang dihapus dari KJP.
“Itu mau dibenahi (agar lebih tepat sasaran). Jadi pasangan ini tidak menganulir program kartu itu,” ucap Ardha.
Di sisi lain, pasangan Ridwan-Suswono tampak mengeluarkan formulasi kartu-kartu baru, yang sesungguhnya hasil tiruan dari program Jokowi saat maju menjadi Gubernur DKI Jakarta. “Jadi, pasangan Pramono-Rano ini justru yang lebih kelanjutan dari program kartu-kartu itu,” kata Ardha.
“RK-Suswono itu agak sedikit kelihatan ingin memodifikasi, biar kelihatan baru.”
Terlepas dari itu, menurut Ardha, sejak dahulu program dalam bentuk kartu di Jakarta selalu menghadapi tantangan dalam persoalan pendataan yang valid. Maka, tampak selalu manis dalam retorika ketika ditawarkan, tetapi tidak bisa direalisasikan secara baik.
“Karena datanya kacau,” kata Ardha.